SAMPUL RAPOT YANG BIKIN REPOT

 

Pada salah satu berita dari koran BPost pada Rabu, 14 Desember 2022 pada halaman 9 menurunkan judul ‘Kepala Sekolah Sebut Tidak Diwajibkan’. Pemberitaan yang berkaitan dengan dunia pendidikan ini mengupas mengenai penjualan sampul rapot dan biaya foto siswa. Menurut beritanya bahwa diduga terjadi adanya pungutan liar (pungli) pada sebuah SDN di Kota Banjarmasin. “Pasalnya orangtua siswa khususnya yang duduk di kelas 1, diminta membayar sejumlah uang sejumlah puluhan ribu rupiah untuk keperluan sampul rapot dan foto”, demikian sekilas kutipan  beritanya.
Setelah menjalani rangkain ujian sekolah, siswa nantinya akan menerima hasil mengikuti pembelajaran selama satu semester atau satu tahun pelajaran dalam sebuah dukomen yang dikenal sebagai rapot. Sebelum penerapan Kurikulum 2012(K13), rapot tersebut dalam bentuk buku yang dibuat sedemikian rupa berisi nilai atau angka capaian hasil belajar dari semua mata pelajaran yang diikutinya, sehingga dinamakan dengan buku rapot. Selanjutnya, ketika penerapan Kurikulum 2013 (K13), format dan bentuk rapot mengalami perubahan yang siginifikan. Selain menuliskan nilai atau angka juga disertai dengan deskripsi mengenai capaian kompetensi yang telah dicapai oleh peserta didik, sehingga rapot atau bentuk laporan hasil belajar pun mengalami perubahan.

Kasus pungutan liar (pungli)  rupanya masih cukup sulit diberantas dan dihilangkan dalam di lingkungan lembaga pendidikan atau  sekolah, karena masih  kurangnya pemahaman dan kesadaran oknum pengelola sekolah dalam penggalangan dana dari warga sekolah maupun masyarakat. Mestinya, penyediaan sampul rapot bagi peserta didik yang baru menjadi tanggung jawab sekolah tanpa harus membenani kepada orangtua peserta didik, misalnya dengan menggunakan dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah), terlebih bagi lembaga pendidikan yang berstatus sekolah negeri.

Pendidikan gratis yang selama ini menjadi jorgan yang sering terdengar ketika menjelang perhelatan kontestasi politik lokal dan nasional ternyata hanya sebatas jualan politik yang selalu diulang-ulang untuk menarik simpati publik. Faktanya, berbagai keluhan orangtua yang terkait dengan biaya pendidikan anaknya di sekolah tidak pernah sepi dan selalu terungkap ke permukaan sebagaimana berita koran BPost di atas. Ketika masa penerimaan peserta didik baru (PPDB) awal tahun pelajaran baru kasusnya berkaitan dengan biaya masuk sekolah dan penebusan seragam beserta  atribut sekolah lainnya, sedangkan pada masa akhir tahun pelajaran kasusnya terkait dengan biaya perpisahan, rekreasi, dan sebagainya.

Kembali ke pemberitaan mengenai penebusan sampul rapot di atas. Apabila diperhatikan dari harga dari sampul rapot tersebut relatif murah per buahnya, namun jika terjadi kasus seperti diatas maka dampaknya besar bagi nama baik pribadi kepala sekolah dana lembaga pendidikan yang dipimpinnya. Bukan keuntungan finansial yang relatif besar yang diterima, namun sebaliknya pertaruhan nama baik pribadi dan lembaga yang menjadi teruhannya. Apabila  pemberitaan jual beli sampul rapot sebagaimana berita di atas menjadi konsumsi publik, maka akan menjadi kerepotan tersendiri untuk menjernihkan masalah tersebut. Akhirnya, dari sampul rapot menjadi repot. Wallahu’alam.

 

Post a Comment for "SAMPUL RAPOT YANG BIKIN REPOT"