Kasus pungutan liar (pungli) rupanya masih cukup sulit diberantas dan
dihilangkan dalam di lingkungan lembaga pendidikan atau sekolah, karena masih kurangnya pemahaman dan kesadaran oknum
pengelola sekolah dalam penggalangan dana dari warga sekolah maupun masyarakat.
Mestinya, penyediaan sampul rapot bagi peserta didik yang baru menjadi tanggung
jawab sekolah tanpa harus membenani kepada orangtua peserta didik, misalnya
dengan menggunakan dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah), terlebih bagi lembaga
pendidikan yang berstatus sekolah negeri.
Pendidikan gratis yang selama ini
menjadi jorgan yang sering terdengar ketika menjelang perhelatan kontestasi
politik lokal dan nasional ternyata hanya sebatas jualan politik yang selalu
diulang-ulang untuk menarik simpati publik. Faktanya, berbagai keluhan orangtua
yang terkait dengan biaya pendidikan anaknya di sekolah tidak pernah sepi dan selalu
terungkap ke permukaan sebagaimana berita koran BPost di atas. Ketika masa
penerimaan peserta didik baru (PPDB) awal tahun pelajaran baru kasusnya berkaitan
dengan biaya masuk sekolah dan penebusan seragam beserta atribut sekolah lainnya, sedangkan pada masa
akhir tahun pelajaran kasusnya terkait dengan biaya perpisahan, rekreasi, dan
sebagainya.
Kembali ke pemberitaan mengenai
penebusan sampul rapot di atas. Apabila diperhatikan dari harga dari sampul
rapot tersebut relatif murah per buahnya, namun jika terjadi kasus seperti
diatas maka dampaknya besar bagi nama baik pribadi kepala sekolah dana lembaga
pendidikan yang dipimpinnya. Bukan keuntungan finansial yang relatif besar yang
diterima, namun sebaliknya pertaruhan nama baik pribadi dan lembaga yang
menjadi teruhannya. Apabila pemberitaan jual
beli sampul rapot sebagaimana berita di atas menjadi konsumsi publik, maka akan
menjadi kerepotan tersendiri untuk menjernihkan masalah tersebut. Akhirnya,
dari sampul rapot menjadi repot. Wallahu’alam.
Post a Comment for "SAMPUL RAPOT YANG BIKIN REPOT"