Terasa sekali sinar matahari menyengat tubuh saat sekelompok bocah
menelusuri pematang sawah yang ditumbuhi padi yang sedang mengeluarkan
bulir-bulir hijau. Sekelompok bocah itu langsung berlari ketika melihat sebuah
lampau di tengah persawahan untuk berteduh dari terik sinar matahari siang itu.
Kelompok bocah ini merupakan pencari ikan di persawahan yang mulai
kering, karena saat itu banyak ikan yang berkumpul bagian terdalam areal
persawahan yang masih tersisa airnya. Ada 4 bocah yang berusia hampir sebaya
dalam kelompok tersebut. Mereka berburu mencari ikan yang terjebak di areal
persawahan yang kering di belakang perkampungan setalah pulang dari sekolah.
Tidak ada yang menyuruh untuk mencari ikan tersebut, tetapi berangkat dengan
keinginan mereka sendiri.
“ Wan, kemana lagi kita mencari ikannya” kata Ilan membuka pembicaraan
saat bernaung di lampau siang itu.
“ Kita ke ujung sana, di sawah Kai
Usman,” ujar Aswan menjawab pertanyaan Ilan.
“ Akur, aku setuju” ujar Masrani menyahut
“ Kamu, bagaimana Din? “ ujar Ilan kepada temannya yang bernama
Syaifudin
Setelah matahari mulai sedikit redup, mereka pun mulai bergerak menuju
tempat yang diperkirakan ada ikan yang terjebak dalam kubangan di ujung sawah
yang dimiliki oleh masyarakat setempat yang dikenal dengan sebutan Kai Usman. Sebutan kai bagi masyarakat Banjar adalah kakek.
Mereka berempat sudah biasa mencari ikan di kampungnya, meski masih usia
belia. Ada beberapa peralatan sederhana penangkap ikan tradisional orang
Banjar, Kalimantan Selatan, yang dibawa oleh mereka antara lain sarakap, lunta,
dan tangguk.
Aswan membawa sarakap, yaitu alat untuk menangkap ikan yang berukuran
besar dan biasanya bersembunyi di dasar, seperti ikan haruan atau gabus dan
papuyu atau betok. Syaifudin bertugas membawa lunta atau jala, yaitu alat
penangkap ikan ukuran kecil. Masrani membawa tangguk, yaitu alat menangkap ikan
di tempat yang ukuran kecil dan airnya surut. Lalu, Ilan membawa keranjang
untuk menyimpan ikan hasil tanggapan.
Tiba di sekitar tempat yang dituju, mereka mencari titik lokasi yang
menjadi sasaran. Angin kencang yang menerpa padi yang sedang mengeluarkan
bulir-bulir membuat suasana di persawahan siang itu terdengar rebut. Mereka pun
akhirnya menemukan lokasi dimana terdapat kolam kecil di sela-sela batang padi
yang rimbun. Segera kelompok bocah tersebut beraksi mencari sasaran ikan yang
terjebak dalam kolam kecil yang nyaring kering tersebut. Tak berapa kemudian,
masing-masing sibuk mencari dan menangkap ikan dengan tangan kosong, karena
peralatan yang ada tidak dapat digunakan sebagaimana mestinya.
Jari-jemari mereka yang kecil dengan lincahnya mencari, meraba, dan
menangkap ikan yang tersembungi di sela-sela batang padi, atau di dalam lumpur
yang pekat. Ikan-ikan yang didapat langsung masuk ke dalam keranjang dalam
kondisi berlumuran lumpur hitam. Baju dan celana mereka sudah tidak jelas warna
aslinya, bahkan badan hingga muka mereka sudah penuh dengan lumpur pekat.
“Awas, ikan gabusnya lari,” kata Syaifudin
“ Ya, ikannya pindah ke belakang Ilan, “ kata Aswan menyahut di sebelah
sana.
“ Ayo, kita kepung, “ ujar Ilan untuk meminta kawannya bergabung
Tidak terasa, hari pun mulai menjelang senja. Keranjang ikan yang
mereka bawa terlihat sudah hampir penuh dengan berbagai ikan hasil tanggapan
mereka. Ada ikan sepat, haruan, papuyu, bahkan juga ada belut. Ya, mereka panen
ikan lumayan besar. Namun, saat mereka keluar dari rimbunnya padi sawah
tersebut, tiba-tiba ada sosok pria tua yang berbadan besar berdiri di atas
pematang sawah.
“ Hai, rupanya kalian yang mengambil ikan di sawah saya,” ucap sosok
pria tua itu dengan suaranya yang khas.
Keempat bocah itu pun terkejut. Tidak sempat lagi mereka lari, karena
mereka sudah tidak punya pilihan lain.
“ Iya, Kai. Kami semua, “
ujar Syaifudin menjawab dengan suara yang bergetar.
“ Iya, iya. Dengan siapa kalian minta izin mengambil ikan tersebut”
lanjut pria tua itu lagi.
“ Tidak ada” ujar Aswan menjawabkan.
“ Kami minta maaf, Kai ai ”
ujar Ilan meneruskan jawaban kawan sebelumnya
Pria tua yang disebut Kai itu
mendakati keempat bocah tersebut. Sambil memandang satu per satu bocah yang ada
di hadapannya. Ia melihat pula keranjang yang berisi ikan yang cukup banyak
didapatkan kelompok bocah tersebut.
“ Bagaimana, apakah ikan ini kalian mau bawa pulang?” ucap pria tua
dengan suara yang sedikit nyaring.
“ Inggih, Kai “ ujar keempat bocah itu dengan kepala
tertunduk
“ Tapi, kalau mau Kai ambil,
kami tidak keberatan” ujar Ilan menjawab
Kai Usman menatap kembali satu
per satu bocah yang ada di depannya. Lalu, tidak lama kemudian dia berkata “
Ya, kai maafkan kalian semua, tapi ingat kali jangan mengambil ikan orang
sebelum mendapat izin yang punya” ujar Kai
Usman dengan suara yang lembut.
Mendengar perkataan Kai Usman
yang demikian, keempat bocah itu pun lega dan tak tegang lagi. Mereka minta
maaf dan mencium tangan Kai Usman.
Bagi keempat bocah itu, Kai Usman pada sore itu adalah sosok yang baik
dan pemaaf, meski beliau dikenal sebagai sosok yang garang. Kai Usman dikenal
banyak punya sawah dan rajin mengolah sawahnya. Hampir setiap hari beliau
berada di sawahnya hingga menjelang Magrib baru pulang.
Sore itu, keempat bocah membawa pulang ikan yang didapatnya. Sesampai
di bawah pohon kasturi di belakang sekolah kampung mereka, keempat bocah ini
membagi ikan yang didapat dengan pembagian yang seadil-adilnya. Selanjutnya,
mereka pulang ke rumah masing-masing seraya membawa ikan hasil perburuan hari
ini.
****
Post a Comment for "Cerpen Kami Anak Sungai :Bagian 1. Mencari Ikan Musim Kemarau"