NASIB PDBK DALAM PPDB


Penyelenggaraan pendidikan inklusif dicanangkan oleh Pemerintah secara formal sejak 11 Agustus 2004 di Bandung, dengan pendidikan insklusi ini diharapkan agar sekolah reguler dapat menerima dan memberikan pendidikan kepada Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) atau yang sekarang dikenal istilah Peserta Didik Berkebutuhan Khusus (PDBK). Kemudian, ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya Permendiknas (Peraturan Menteri Pendidikan Nasional) Nomor 70 Tahun 2009, tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa.

Dalam peraturan tersebut menyatakan bahwa pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/ atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya.

Pendidikan inklusif merupakan sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memilik kelainan dan memliki potensi kecerdasan dan atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya.

Pelaksanaan pendidikan inklusif di Indonesia sebenarnya dimulai sejak  1997 setelah diratifikasinya kesepakatan Salamanca 1994 tentang pendidikan insklusi, dan kemudian dilakukan ujicoba pendidikan inklusif di 7 (tujuh) SD yang ada di Kecamatan Karangmojo Kabupaten Wonosari Gunung Kidul Propinsi Yogyakarta.

Secara konstitusional layanan pendidikan bagi PDBK dijamin sepenuhnya oleh UUD 1945 dalam Pasal 31 Ayat (1) dan diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Negara sepenuhnya memberikan jaminan kepada seluruh anak untuk mendapatkan layanan pendidikan yang bermutu, tidak kecuali bagi PDBK. Selanjutnya, mengenai pendidikan peserta didik yang berkebutuhan khusus ini diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, bahwa warga negara yang memiliki kelainan fisik,mental, intelektual dan sosial berhak mendapatkan pendidikan.

Pelaksanaan  Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) menjadi pintu masuk anak-anak dalam rangka memasuki dunia pendidikan melalui jalur formal, baik dari jenjang TK/PAUD hingga SMA sederajat. Dalam pelaksanaan PPDB tersebut semua anak mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan pelayanan pendidikan sebagai perwujudan hak anak sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, tidak terkecuali bagi peserta didik yang berkebutuhan khusus atau PDBK.

Namun dalam kenyataannya, pemenuhan hak bagi PDBK untuk mengikuti pendidikan tidak berjalan mulus sebagaimana mestinya, seperti dalam pelaksanaan PPDB tahun ajaran 2023-2024 yang berlangsung beberapa waktu lalu. Menurut pengamatan dan pemantauan dari Dewan Pendidikan Tanah Laut, ada beberapa sekolah yang masih belum siap atau bahkan menolak menerima PDBK dalam PPDB dengan berbagai alasan yang bersifat teknis dan nonteknis.

Pemahaman yang komprehensif disertai empati dan kepedulian yang tinggi pihak sekolah untuk dapat menerima PDBK menjadi kunci penting dapat terlaksananya penyelenggaraan sekolah inklusi sebagaimana  yang diharapkan oleh semua pihak. Penyelenggaraan pendidikan inklusif dari sekolah reguler yang selama ini sudah terbiasa menerima peserta didik normal akan memerlukan perubahan paradigma dalam proses penyelenggaraannya, terutama proses pembelajaran dan kehidupan sosial sehari-hari di sekolah.

Layanan pendidikan terhadap PDBK selama ini masih belum sepenuhnya maksimal, berbagai kendala dan masalah masih cukup banyak dihadapi oleh mereka, meski sudah banyak sekolah yang  telah menyelanggarakan pendidikan inklusif dari segenap jenjang pendidikannya. Kendala dan masalah yang dihadapi PDBK tidak saja datang dari luar, tetapi juga dari dalam diri dan keluarga mereka sendiri.

Kendala dalam mengimplentasikan pendidikan inklusif antara lain minimnya sarana dan prasarana, keterbatasan pengetahuan dan keterampilan guru dalam menyelenggarakan pembelajaran bagi PDBK, termasuk pula kurikulum yang belum sepenuhnya mengakomodir pendidikan inklusif itu sendiri, masih belum ada atau kurangnya  Guru Pembimbing Khusus (GPK). Adapun GPK adalah guru yang kualifikasi dan latar belakang pendidikan luar sekolah yang berperan untuk menjembatani PDBK dan guru kelas atau mata pelajaran serta melakukan tugas-tugas khusus yang tidak dapat dilakukan oleh guru pada umumnya.

Pendidikan inklusif dalam perkembangannya mengalami pasang surut seiring dengan berbagai kebijakan dan isu yang berkembang dalam dunia pendidikan Indonesia. Sejak dilaksanakan ujicoba pada beberapa daerah sejak tahun 2001, lalu dideklarasikan pada 2004 di Bandung, namun kemudian pada awal 2006 informasi dan gerakan pendidikan inklusi tidak muncul ke publik. Isu mengenai pendidikan inklusi meredup dan nyaris tenggelam seiringan dengan munculnya isu menarik lainnya, seperti sistem SKS (Sistem Kredit Semester) bagi SMA, dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) dan sebagainya.

Setelah sekian tahun penyelenggaraan pendidikan inklusif di tanah air, maka tentunya ada beragam hasil dari kegiatan tersebut. Ada yang menarik untuk dicermati dari penyelenggaraan pendidikan inklusif selama ini, karena menurut pengamat pendidikan bahwa pendidikan inklusif di Indonesia belum sepenuhnya berjalan baik. Ada beberapa kendala klasik yang masih menghambat perkembangan pendidikan inklusif, diantaranya masih sedikit sekolah yang menerima siswa dari kalangan PDBK karena berbagai hambatannya, baik fisik, intelensi, emosi, dan sosial.

Kendala yang lainnya, ada beberapa sekolah yang secara formal sudah memenuhi syarat melaksanakan pendidikan inklusif, tetapi terkendala dengan tidak adanya guru yang berpendidikan S1 pendidikan khusus berkaitan layanan pendidikan PDBK. Pada sisi lain, ada sebagian orangtua atau masyarakat  yang beranggapan bahwa PDBK dapat menular kepada siswa lain, dan berbagai kendala teknis dan nonteknis lainnya.

Sebagaimana Pedoman Implementasi Pendidikan Inklusi yang diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional  Nomor 7 Tahun 2009, maka ada komponen yang patut mendapat  perhatian oleh pemangku kepentingan (stakeholder) dalam penyelenggaran pendidikan inklusi, yaitu guru, peserta didik, kurikulum, pembelajaran, penilaian dan sertifikasi, pengelolaan sekolah, penghargaan dan saksi, dan pemberdayaan masyarakat. Adapun sarana dan prasarana dan pembiayaan atau anggaran patut juga diperhatikan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif.

Layanan pendidikan inklusif kepada PDBK sesuai dengan  yang diinisiasi oleh United Nations Educational, Sceintific, and Cultural Organization (UNESCO) dikenal sebagai Education for All (EFA) yang dicanangkan pada tahun 1993. Konsep pendidikan untuk semua  merupakan bentuk pendidikan yang menghilangkan perbedaan atau tanpa diskriminasi, dan hal ini sudah dituangkan oleh pendiri negara dalam  UUD 1945, yaitu dalam Pembukaan  pada alenia IV dan Pasal 31, serta diimplementasikan pula dalam UU No.20 tahun 2003  tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dengan demikian, secara legal formal konsep pendidikan untuk semua atau Education for All (EFA) sudah tidak asing lagi dalam pendidikan Nasional. 

Kepedulian terhadap nasib PDBK tersebut dipandang perlu pada saat ini, karena masih banyak PR yang perlu diselesaikan oleh pihak dan pemangku kepentingan (stakeholder) agar layanan pendidikan inklusi ini dapat berjalan baik sebagaimana mestinya, salah satu melalui ULD (Unit Layanan Disabilitas)pada setiap daerah (provinsi, kabupaten/kota) Harapannya agar PDBK dan semua anak-anak Indonesia mendapatkan pendidikan yang layak, memadai, dan bermartabat sehingga tumbuh dan berkembang menjadi generasi muda Indonesia yang unggul. Semoga.

Post a Comment for "NASIB PDBK DALAM PPDB"