Perjalanan hari itu, Rabu, 3 Juli
2019, dari rumah Ahmadiyanto di Paringin (Balangan) menuju ke rumah penulis di
Pelaihari (Tanah Laut) dilanjutkan kembali setelah mampir di RTH Batu Mandi,
Balangan. Tujuan persinggahan selanjutnya adalah Pamangkih, sebuah desa yang
terkenal di Kalimantan Selatan karena memiliki pondok pesantren dan penghasil
mebel, kasur, dan peralatan rumah tangga lainnya.
Penulis sebagai sopir dipandu
oleh Ahmadiyanto untuk masuk Kota Barabai, Ibukota Kabupaten Hulu Sungai Tengah
melalui jalur pasar, karena penulis tidak mengetahui arah untuk wilayah pasar
barabai tersebut. Pasar Barabai memang menjadi salah satu pasar terbesar yang
ada di daerah ‘ Banua Anam’ julukan untuk wilayah yang berada di hulu sungai,
seperti Tapin, Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Utara, Balangan, Tabalong, dan
Hulu Sungai Tengah sendiri. Kami hanya lewat pasar saja, tidak mampir seperti
di RTH Batu Mandi.
Bagi penulis, wilayah pasar Kota Barabai ini memang cukup luas dengan
banyak jalur jalan di dalamnya, sehingga jika kurang mengenal wilayah pasar ini
dapat kesulitan keluar menuju atau kembali ke jalan utama trans Kalimantan. Hal
tersebut pernah penulis alami sendiri beberapa tahun silam, ketika bersama
keluarga melakukan perjalanan rekreasi ke salah satu objek wisata di daerah
ini. Ternyata kondisi lingkungan jalan pasar Barabai yang kami lewati tersebut
relatif ramai dan padat oleh lalu lintas
kendaraan dan pengunjung pasar, padahal hari itu bukan hari pasar.
Selepas dari wilayah pasar Barabai,
perjalanan dilanjutkan menuju Pemangkih yang berjarak sekitar 10 km dari Kota
Barabai. Berdasarkan arahan dari Ahamdiyanto, penulis mengarahkan mobil masuk
ke sebuah jalan dekat masjid di Pajukungan. Jalan tersebut merupakan jalan
tembus menuju Pamangkih, kondisi arus lalu lintas di jalan tembus tersebut saat
pagi menjelang siang itu relatif sepi. Kiri-kana jalan merupakan perkampunngan
dan perumahan penduduk yang relatif padat. Perjalanan ini merupakan pertama
kali penulis alami, ternyata di daerah ini banyak perkampungan dan penduduknya
juga relatif padat.
Sampailah kami di pertigaan
jalan, dan penulis diarahkan oleh Ahmadiyanto mengambil sisi kanan menuju ke
arah Kota Amuntai, Ibukota Kabupaten Hulu Sungai Utara. Jalan yang kami lewati
ini relatif lebar jika dibandingkan dengan jalan tembus yang baru dilewati.
Tidak berapa lama kemudian kami sampai di sebuah masjid tua yang dikenal dengan
nama Masjid Pamangkih, namanya sesuai dengan nama desa tempat lokasi masjid
tersebut. Masjid tua ini memang cukup dikenal di Kalimantan Selatan karena
keunikannya yang tetap dipertahankan oleh masyarakat sampai saat ini.
Masjid Pamangkih merupakan sebuah
masjid yang terbuat dari bahan kayu ulin
dengan arsitektur lama, seperti masjid-masjid di Pulau Jawa jaman
kerajaan dulu. Tempat azan di masjid ini berada di bagian atas, seperti masjid
jaman dulu yang belum ada pengeras suaranya. Namun, tempat azan di atas
tersebut sekarang tidak digunakan lagi, karena sudah digantikan dengan pengeras
suara yang modern. Sayangnya, saat penulis mampir di masjid tersebut, pintu
masuk ke dalam terkunci, sehingga penulis tidak dapat masuk dan melihat kondisi
bangunannya dari dalam.
Setelah dirasa cukup berada di
halaman dan sekitar masjid Pamangkih tersebut, kami pun melanjutkan perjalanan
menuju rumah orangtua dan keluarga Ahamdiyanto yang berjarak sekitar 3 km dari
masjid tua tersebut. Waktu saat itu menunjukkan pukul 10.30 WIT, dengan kondisi
cuaca yang sedikit mendung dan sinar matahari yang tertutup awan. Syukur alhamdulilah, penulis dapat sampai dan
melihat langsung salah satu masjid tertua di Kalimantan Selatan yang masih
tersisi dengan keaslian dan keunikannya diera modern ini.
Post a Comment for "CATATAN PERJALANAN PELAIHARI-TAMIANG LAYANG-2019. Bagian 24. Singgah di Masjid Pamangkih, HST"