Malam itu, Selasa 2 Juli 2019,
penulis bersama ananda Muhammad Munawir Akbari, bermalam di rumah
Ahmadiyanto di Paringin, Ibukota
Kabupaten Balangan, Provinsi Kalimantan Selata, setelah sebelumnya juga
bermalam di sana. Kami baru saja kembali
dari perjalanan dari Tamiyang Layang, Kalimantan Tengah selepas Magrib. Sebelumnya kami menempuh perjalanan dari
Ampah, Kalimantan Tengah, sekitar 45 km dari Kota Tamiyang Layang tersebut.
Bermalam di rumah Ahmadiyanto di
Paringin ini merupakan untuk kesekian kalinya bagi penulis dan keluarga, karena
sejak tahun 2016 yang lalu penulis secara sendirian sudah pernah bermalam di
rumahnya, lalu tahun berikutnya bersama keluarga, dan kini bersama ananda
Muhammad Munawir Akbari. Kami sudah akrab dan familiar dengan keluarga Ahmadiyanto,
bahkan seperti saudara atau keluarga sendiri.
Setelah makan sarapan pagi yang
disediakan oleh isteri Ahmadiyanto, lalu penulis dan ananda Muhammad Munawir
Akbari mengemasi barang bawaan yang ada untuk dimasukkan ke mobil guna
persiapan untuk pulang ke rumah pagi itu, Rabu, 3 Juli 2019. Menurut informasi
dari Ahmadiyanto, bahwa ia dan keluarga berencana ikut penulis ke rumah ibunya
di Pamangkih, Hulu Sungai Tengah (HST), sekitar 30 km dari rumahnya di
Paringin.
Sekitar pukul 09.00 WIT,kami
berangkat dari rumah Ahmadiyanto di Paringin, Saat itu yang ikut mobil hanya
Ahmadiyanto dan anaknya yang sulung, Raihan, sedang isteri dan anaknya yang
Riqkan tidak ikut ke Pamangkih, karena ada kesibukan di rumah yang tidak dapat
ditinggalkan. Perjalanan menuju Pamangkih, HST melalui jalur jalan trans
Kalimantan yang biasa dilewati selama ini menuju arah ke Barabai, Ibukota
Kabupaten HST.
Sebelum sampai di Barabai, kami
mampir di Ruang Terbuka Hijau (RTH) Batu Mandi yang berada di Kecamatan Batu
Mandi, Kabupaten Balangan. RTH Batu Mandi ini terletak di pinggir jalan jalur
trans Kalimantan, sehingga sangat mudah dilihat atau disinggahi oleh pengendara
yang melintas di tempat tersebut. Namun, sayangnya di RTH Batu Mandi tersebut
tidak tersedia tempat parkir yang refresentatif untuk mobil.
Cukup lama kami bereda di RTH
Batu Mandi yang memiliki monumen ikon buah-buahan yang terkenal di daerah
tersebut, yaitu buah durian dan cempedak. Kesempatan singgah di RTH Batu Mandi
ini penulis manfaatkkan dengan mengambil
foto beberapa sudut yang ada di RTH tersebut,
termasuk foto penulis dengan Ahmadiyanto yang difotokan oleh ananda
Muhammad Munawir Akbari. Menurut informasi dari Ahmadiyanto, bahwa RTH Batu
Mandi ini dulunya merupakan pasar rakyat sekitarnya. Kini, kawasan sekitar
dengan luas relatif sempit tersebut menjadi tempat terbuka yang menjadi ikon
daerah kecamatan penghasil buah durian dan cempedak.
Buah cempadak yang banyak tumbuh
di daerah Kecamatan Batu Mandi ini sekarang sudah dikembangkan produk
pengolahannya menjadi berbagai variasi makanan ringan dan minuman, sehingga
buah tersebut cukup lama bertahan denganproduk olahannya. Ada sirup, kripik,
dan berbagai olaahan makanan ringan lainnya
sebagai hasil pengembangan dari buah cempedak tersebut disamping olahan
‘mandai’ yang sudah terlebih dulu dibuat masyarakat setempat. Mandai merupakan
produk olahan dari daging cempadak yang
difarmentasi sedemikian rupa sehingga menjadi olehan makanan khas yang enak
dimakan sebagai sayur dan bentuk olahan lainnya.
Matahari semakin tinggi dan
terik, sehingga kami memutuskan untuk beranjak dari RTH Batu Mandi ini guna
meneruskan perjalanan ke Pamangkih, HST yang berjarak sekitar 15 km lagi.
Setelah Ahamdiyanto bersama anaknya membeli minuman dan makanan ringan di
warung seberang jalan untuk menghilangkan haus dan lapar setelah jalan-jalan di
RTH Batu Mandi tersebut, maka penulis meneruskan perjalanan kembali menelusuri
jalan trans Kalimantan menuju ke arah Barabai, HST. Waktu saat berangkat
tersebut sekitar pukul 10.00 WIT.
Post a Comment for "CATATAN PERJALANAN PELAIHARI-TAMIANG LAYANG-2019. Bagian 23. Singgah di Batu Mandi, HST"