ZONASI GURU, SIAPA TAKUT ?


Membaca berita Koran Banjarmasin Post pada  Senin, 5 Agustus 2019 di halaman pertama yang berjudul “ 25 Tahun, Samsuni Baru Dimutasi “, dan subjudul “ Mendikbud Rotasi Guru Per Enam Tahun “. Dalam beritanya, antara lain disebutkan bahwa Samsuni Sarman, guru kelas yang ramah ini mengajar dengan penuh rasa tulus di SDN Alalak Utara 1. Meski usianya sudah 59 tahun namun dia akui selalu semangat mengajar di sekolahnya yang berada di tepi Sungai Alalak, Banjarmasin itu.  Rencana Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang segera menerapkan kebajikan rotasi guru yang bertugas di sekolah negeri, dia tanggapi datar. “ Rotasi guru, sebenarnya ini kebijakan klasik dengan label berbeda,” katanya.

Seiring dengan bergulirnya kebijakan sistem zonasi dalam kegiatan Penerimaan Peserta Didik Baru atau PPDB, maka kini mulai diwacanakan kebijakan untuk melakukan hal sama dengan nama zonasi guru, yaitu semacam rotasi guru di sekolah negeri, baik jenjang SD, SMP, atau SMA sederajat. Menurut kebijakan zonasi guru tersebut, guru mengabdi di sebuah sekolah maksimal 6 tahun, tidak boleh sampai seumur hidup alias sampai pension di sekolah itu saja.
Rencana kebijakan zonasi guru tersebut bukanlah sesuatu hal baru dalam dunia pendidikan Indonesia, karena dulu ada kebijakan yang mungkin hampir sama, yaitu SKB tiga menteri yang melakukan mutasi terhadap guru jenjang SD, SMP, dan SMA sederajat, sehingga ada peralihan atau mutasi guru antar jenjang sekolah guna mengatasi masalah kekurangan guru di sekolah negeri. Saat kebijakan mutasi tersebut, belum ada otonomi daerah seperti saat ini, masih bersifat sentralistik.
Kini, diera otonomi daerah , kondisinya mungkin sama, tetapi suasana politiknya sudah jauh berbeda. Daerah memiliki kewenangan masing-masing dalam mengatur hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan, termasuk salah satunya penataan guru di daerahnya masing-masing. Ketika otonomi daerah inilah, kondisi pemerataan guru dinilai oleh Kemendikbud perlu ditata ulang lagi dalam upaya pemerataan guru dan mutu pendidikan.
Dengan adanya zonasi guru, diharapkan tidak ada lagi sekolah yang kekurangan guru pada satu sisinya, sementara di sekolah yang lain terjadi penumpukan guru. Sementara itu, berdasarkan pengalaman penulis selama ini, sejak diterapkannya kewajiban mengajar minimal 24 jam per minggu bagi guru yang menerima tunjangan sertifikasi, maka semakin jelas dan nyata dimana sekolah yang kelebihan dan dimana  sekolah yang kekurangan guru. Mengapa? Karena adanya peraturan tersebut, guru yang berada di sekolah yang kelebihan akan mencari atau menambah jam pelajaran di sekolah yang kekurangan gurunya.
Banyak persoalan sekolah yang sekiranya akan dapat dipecahkan atau diatasi melalui kebijakan zonasi atau mutasi guru. Salah satu manfaatnya adalah akan terjadi penyegaran dan pemerataan guru. Berdasarkan pengalaman penulis selama ini, di sekolah terkenal atau favorit, selain terjadi penumpukan guru, maka terjadi pula proses menjadi guru ‘seumur hidup’, karena sejak diangkat hingga pensiun, banyak guru yang tetap di sekolah tersebut. Tidak ada proses penyegaran, terus menjadi guru di sekolah hingga penisun atau seumur hidup. Penyegaran melalui mutasi atau zonasi itu penting dalam upaya pemerataan guru secara terencana, teratur, dan terkendali.

Post a Comment for "ZONASI GURU, SIAPA TAKUT ?"