MENYOAL (KEMBALI) PENDIDIKAN KARAKTER YANG TERCECER


Membicarakan Pendidikan Karakter bangsa sudah menjadi topik pembicaraan banyak kalangan, baik pemimpin bangsa, tokoh dan pemuka agama, tokoh pemikir dan praktisi pendidikan, dan bahkan para politisi yang duduk menjadi anggota legislatif, serta pihak-pihak yang peduli dengan dunia pendidikan dan masa depan bangsa ini. Sekolah sebagai institusi dan  wadah  untuk menggodok generasi muda dan pemimpin bangsa ini di masa depan memegang peran penting dan strategis dalam rangka menyiapkan kader pemimpin bangsa yang memiliki karakter yang kuat dan tangguh sesuai dengan tujuan yang diharapkan dalam UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Perubahan kurikulum bukan menjadi alasan dan sebab Pendidikan Karakter kurang atau tidak dilaksanakan dalam proses pendidikan di sekolah  karena Pendidikan Karakter sudah terintegrasi ke semua mata pelajaran yang diajarkan dalam pembelajaran.

Pendidikan adalah suatu proses enkulturasi,   berfungsi mewariskan nilai-nilai dalam aspek fisik, moral, sosial, kultural, emosional, intelektualdan prestasi masa lalu ke generasi mendatang. Nilai-nilai dan prestasi itu merupakan kebanggaan bangsa dan menjadikan bangsa itu dikenal oleh bangsa-bangsa lain. Selain mewariskan, pendidikan juga memiliki fungsi untuk mengembangkan nilai-nilai budaya dan prestasi masa lalu itu menjadi nilai-nilai budaya bangsa yang sesuai dengan kehidupan masa kini dan masa yang akan datang, serta mengembangkan prestasi baru yang menjadi karakter baru bangsa. Oleh karena itu, pendidikan budaya dan karakter bangsa merupakan inti dari suatu proses pendidikan.

 Proses pengembangan nilai-nilai yang menjadi landasan dari karakter itu menghendaki suatu proses yang berkelanjutan, dilakukan melalui berbagai mata pelajaran yang ada dalam kurikulum (kelompok normatif, adaptif, produktif, dan pengembangan diri). Dalam mengembangkan pendidikan karakter bangsa, kesadaran akan siapa dirinya dan bangsanya adalah bagian yang teramat penting. Kesadaran tersebut hanya dapat terbangun dengan baik melalui sejarah yang memberikan pencerahan dan penjelasan mengenai siapa diri bangsanya di masa lalu yang menghasilkan dirinya dan bangsanya di masa kini. Selain itu, pendidikan harus membangun pula kesadaran, pengetahuan, wawasan, dan nilai berkenaan dengan lingkungan tempat diri dan bangsanya hidup ( IPS - geografi), nilai yang hidup di masyarakat (antropologi), sistem sosial yang berlaku dan sedang berkembang (sosiologi), sistem ketatanegaraan, pemerintahan, dan politik (ketatanegaraan/politik/ kewarganegaraan), bahasa Indonesia dengan cara berpikirnya, kehidupan perekonomian, ilmu, teknologi, dan seni. Artinya, perlu ada upaya terobosan kurikulum berupa pengembangan nilai-nilai yang menjadi dasar bagi pendidikan budaya dan karakter bangsa. Dengan terobosan kurikulum yang demikian, nilai dan karakter yang dikembangkan pada diri peserta didik akan sangat kokoh dan memiliki dampak nyata dalam kehidupan diri, masyarakat, bangsa, dan bahkan umat manusia.
Pendidikan karakter bangsa dapat didekati melalui budaya, karakter bangsa, dan pendidikan. Budaya diartikan sebagai keseluruhan sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan (belief) manusia yang dihasilkan masyarakat. Sistem berpikir, nilai, moral,  norma, dan keyakinan itu adalah hasil dari interaksi manusia dengan sesamanya dan lingkungan alamnya. Sistem berpikir, nilai, moral, norma dan keyakinan itu digunakan dalam kehidupan manusia dan menghasilkan sistem sosial, sistem ekonomi, sistem kepercayaan, sistem pengetahuan, teknologi, seni, dan sebagainya. Manusia sebagai makhluk sosial menjadi penghasil sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan; akan tetapi juga dalam interaksi dengan sesama manusia dan alam kehidupan, manusia diatur oleh sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan yang telah dihasilkannya. Ketika kehidupan manusia terus berkembang, maka yang berkembang sesungguhnya adalah sistem sosial, sistem ekonomi, sistem kepercayaan, ilmu, teknologi, serta seni. Pendidikan merupakan upaya terencana dalam mengembangkan potensi peserta didik, sehingga mereka memiliki sistem berpikir, nilai, moral, dan keyakinan yang diwariskan masyarakatnya dan mengembangkan warisan tersebut ke arah yang sesuai untuk kehidupan masa kini dan masa mendatang
Ujian Nasional (UN) yang menjadi baromater keberhasilan pendidikan  seorang peserta didik, institusi sekolah, dan daerah sangat jauh dengan usaha pendidikan budaya dan karakter bangsa karena UN  lebih menitikberatkan pada logika yang cenderung pada kognitif atau pengetahuan  semata dan tidak berakar pada kehalusan budi dan pendidikan yang sesungguhnya. Ketika anak memperoleh nilai atau prestasi UN yang mencakup  mata pelajaran yang berbasis logika semata, maka anak tersebut disanjung dan dibanggakan sebagai generasi penerus bangsa yang  dinilai berhasil menempuh pendidikan pada jenjangnya, bahkan diberikan hadiah berupa uang dan piagama penghagaan lainnya.  Sementara prestasi dari mata pelajaran yang lainnya (Agama, PKn, Seni Budaya, IPS, dll) dianggap sebagai pelengkap yang tidak diperhitungkan dalam persepsi anak yang berprestasi.
Pendidikan Indonesia yang belum mengakomodasi pendidikan budaya dan karakter bangsa secara komprehensif dalam pelajaran di sekolah, tetapi mengangungkan prestasi yang logika yang cenderung tidak memiliki kepekaan terhadap nilai-nilai religi dan kemanusiaan. Hasil akhir dari pendidikan di sekolah hanya ditentukan dari beberapa mata pelajaran yang di –UN-kan, dan hal ini dijadikan tolak ukur bagi keberhasilan sebuah sekolah.  Kurikulum pendidikan yang tidak jelas arah dan tujuan akhirnya menjadi pertaruhan besar bagi kelangsungan kehidupan bangsa ke depan, terlebih di era globalisasi yang sangat deras melanda dunia, termasuk Indonesia. Perubahan kurikulum memang perlu, tetapi yang penting bagaimana jiwa dan semangat membangun pendidikan budaya dan karakter bangsa yang sesungguhnya dapat menjadi jiwa dalam kurikulum tersebut dan terimplementasi dalam praktik pembelajaran sehari-hari. 
Kebijakan tentang UN yang bersifat mutlak dalam menentukan kelulusan peserta didik sudah diganti dengan kebijakan baru yang lebih mengakomodir kepentingan sekolah dan orangtua peserta didik, bahwa kelulusan peserta didik ditentukan oleh satuan pendidikan atau sekolah setelah peserta didik menyelesaikan seluruh  menyelesaikan seluruh program pembelajaran; memperoleh nilai sikap/perilaku minimal baik; dan lulus Ujian S/M/PK. Dengan kebijakan ini maka sekolah memiliki posisi penting dalam menentukan kelulusan peserta didiknya. Kewenangan yang dimiliki sekolah dalam penentuan kelulusan peserta didiknya ini berarti mengembalikan ‘roh’ otonomi sekolah  yang selama ini ‘diambil alih’ oleh nilai  mata pelajaran  yang di UN-kan.
Dengan paradigma kebijakan UN yang baru inilah maka sekolah seharusnya dapat memanfaatkan peluang terbaik ini menghidupkan kembali pendidikan karakter ,budi pekerti, dan tata krama yang menjadi inti dari proses pendidikan itu sendiri. Selama ini focus dan konsentrasi sekolah lebih banyak pada pendidikan yang mengacu pada mata pelajaran yang di-UN-kan sehinga terkesan mengesampingkan pendidikan karakter itu sendiri. Momentum ini harus segera dimanfaatkan oleh sekolah untuk lebih memperhatikan dan meningkatkan peran dan fungsinya sebagai lembaga pendidikan yang berorientasi pada peningkatan akhlak dan budi pekerti sebagai pangkal utama pendidikan karakter ,tanpa mengesampingkan pendidikan yang lainnya seperti seni, budaya, olahraga, dan iptek itu sendiri.

Post a Comment for " MENYOAL (KEMBALI) PENDIDIKAN KARAKTER YANG TERCECER "