Manjemen yang diterapkan dalam pengelolaan sekolah di Indonesia selama ini dikenal dengan model Manajemen Berbasis Sekolah atau MBS. Penerapan MBS dalam manajemen sekolah adalah sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan zaman, yaitu seiringan dengan perubahan manajemen pemerintah di Indonesia, yaitu dari sentralistik menjadi desentralistik, yang diwujudkan dalam pelaksanaan otonomi daerah. MBS dapat diartikan sebagai model pengelolaan yang memberikan otonomi, dan keluwesan (fleksibilitas) yang lebih besar kepada sekolah, dan mendorong partisipasi aktif langsung warga sekolah dan masyarakat untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional serta peraturan perundang-undangan yang berlaku (Anonim, 2007).
Manajemen Berbasis Sekolah atau MBS bertujuan untuk meningkatkan kinerja sekolah melalui pemberian kewenangan dan tanggungjawab yang lebih besar kepada sekolah yang dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip tata kelola sekolah yang baik yaitu: (1) partisipasi; (2) transparansi; dan (3) akuntabilitas. Peningkatan kinerja sekolah yang dimaksud meliputi peningkatan kualitas, efektivitas, efisiensi, produktivitas, dan inovasi pendidikan. Prinsip MBS menurut PP 19 Tahun 2005 tentang Standar Pendidikan Nasional, pasal 54 adalah mandiri, efisien, efektif, dan akuntabel.
Manajemen Berbasis Sekolah atau MBS bertujuan untuk meningkatkan kinerja sekolah melalui pemberian kewenangan dan tanggungjawab yang lebih besar kepada sekolah yang dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip tata kelola sekolah yang baik yaitu: (1) partisipasi; (2) transparansi; dan (3) akuntabilitas. Peningkatan kinerja sekolah yang dimaksud meliputi peningkatan kualitas, efektivitas, efisiensi, produktivitas, dan inovasi pendidikan. Prinsip MBS menurut PP 19 Tahun 2005 tentang Standar Pendidikan Nasional, pasal 54 adalah mandiri, efisien, efektif, dan akuntabel.
Sementara itu, desentralisasi urusan-urusan pendidikan di sekolah tidak semua urusan dilimpahkan ke sekolah, tetapi sebagian urusan masih merupakan kewenangan dan tanggungjawab Pemerintah, pemerintah propinsi, pemerintah kabupaten/kota, dan sebagian urusan lainnya diserahkan ke sekolah. Urusan-urusan pendidikan yang sebagian menjadi kewenangan dan tanggungjawab sekolah, yaitu: (1) proses belajar mengajar, (2) perencanaan dan evaluasi program sekolah, (3) pengelolaan kurikulum, (4) pengelolaan ketenagaan, (5) pengelolaan peralatan dan perlengkapan, (6) pengelolaan keuangan, (7) pelayanan siswa, (8) hubungan sekolah-masyarakat, dan (9) pengelolaan kultur sekolah.
Pelaksanaan MBS sudah sepantasnya menerapkan pendekatan “idiograpik” (membolehkan adanya keberbagaian cara melaksanakan MBS) dan bukan lagi menggunakan pendekatan “nomotetik” (cara melaksanakan MBS yang cenderung seragam/konformitas untuk semua sekolah). Oleh karena itu, dalam arti yang sebenarnya, tidak ada satu resep pelaksanaan MBS yang sama untuk diberlakukan ke semua sekolah. Tetapi satu hal yang perlu diperhatikan bahwa mengubah pendekatan manajemen berbasis pusat menjadi manajemen berbasis sekolah bukanlah merupakan proses sekali jadi dan bagus hasilnya (one-shot and quick-fix), akan tetapi merupakan proses yang berlangsung secara terus menerus dan melibatkan semua pihak yang berwenang dan bertanggungjawab dalam penyelenggaraan sekolah.
Pelaksanaan MBS sudah sepantasnya menerapkan pendekatan “idiograpik” (membolehkan adanya keberbagaian cara melaksanakan MBS) dan bukan lagi menggunakan pendekatan “nomotetik” (cara melaksanakan MBS yang cenderung seragam/konformitas untuk semua sekolah). Oleh karena itu, dalam arti yang sebenarnya, tidak ada satu resep pelaksanaan MBS yang sama untuk diberlakukan ke semua sekolah. Tetapi satu hal yang perlu diperhatikan bahwa mengubah pendekatan manajemen berbasis pusat menjadi manajemen berbasis sekolah bukanlah merupakan proses sekali jadi dan bagus hasilnya (one-shot and quick-fix), akan tetapi merupakan proses yang berlangsung secara terus menerus dan melibatkan semua pihak yang berwenang dan bertanggungjawab dalam penyelenggaraan sekolah.
Paling tidak, proses menuju MBS memerlukan perubahan empat hal pokok berikut : (1) Perlu penyempurnaan peraturan-peraturan, ketentuan-ketentuan, dan kebijakan-kebijakan bidang pendidikan yang ada di daerah yang menjadikan sekolah bersifat otonom dan mendudukkannya sebagai unit utama.; (2) Kebiasaan (routines) berperilaku warga (unsur-unsur) sekolah perlu disesuaikan karena MBS menuntut kebiasaan-kebiasaan berperilaku baru yang mandiri, kreatif, proaktif, sinergis, koordinatif/kooperatif, integratif, sinkron, luwes, dan professional: (3) Peran sekolah yang selama ini biasa diatur (mengikuti apa yang diputuskan oleh birokrat diatasnya) perlu disesuaikan menjadi sekolah yang bermotivasi-diri tinggi (self-motivator); dan (4) Hubungan antar warga (unsur-unsur) dalam sekolah, dengan instansi terkait.
Sekolah diberi otonomi (kewenangan dan tanggung jawab) yang lebih besar untuk mengelola sekolahnya. Namun, kewenangan dan tanggung jawab yang lebih besar hanya dapat dilaksanakan dengan baik apabila sekolah menerapkan prinsip-prinsip tata kelola yang baik yaitu partisipasi, transparansi, akuntabilitas, efektivitas, efisiensi, berwawasan ke depan, hukum dilaksanakan dengan baik, keadilan, demokrasi/egaliterisme, prediktif, peka terhadap aspirasi stakeholders, dan pasti dalam penjaminan mutu
Post a Comment for "DIMENSI KOMPETENSI MANAJERIAL KEPALA SEKOLAH"