Kabar kurang
mengenakkan bagi dunia pendidikan di Indonesia kembali terdengar nyaring pasca
pelaksanaan Pengenalan Lingkungan Sekolah atau PLS yan dilaksanakan bagi
peserta didik baru pada awal tahun pelajaran 2019/2020. Dalam beberapa hari terkahir ini, media massa
cetak, online, dan elektronik memberitakan kasus kematian peserta didik baru di
salah satu sekolah menengah atas yang berada di Sumatera Selatan. Kasus
tersebut diduga terkait dengan pelaksanaan Pengenalan Lingkungan Sekolah atau
PLS di SMA Taruna Pelembang.
Menurut berita Detik.com bahwa Wiko,
lanjut Firli, dirawat di rumah sakit setelah selesai mengikuti serangkaian
kegiatan masa orientasi sekolah (MOS) di SMA Taruna Indonesia, Sabtu (13/7).
Korban diantarkan ke rumah sakit oleh pihak sekolah dan diduga ikut menjadi
korban kekerasan. Selain adanya dugaan kekerasan yang menimpa Wiko, SMA Taruna
Indonesia tengah menjadi sorotan. Sebab, salah satu siswanya, Delwyn Berli, meninggal
dunia saat mengikuti MOS. (sumber : news.detik.com/berita/d-4632076/ada-lagi-siswa-sma-taruna-palembang-meninggal-keluarga-akan-lapor-polisi).
Penulis secara
pribadi menyatakan turut berduka cita atas meninggalnya korban yang diduga
berkaitan dengan pelaksanaan masa PLS tersebut, dan berharap semoga kejadian
tersebut merupakan kasus yang terakhir kalinya bagi dunia pendidikan di
Indonesia. Dari kasus tersebut diharapkan menjadi pembelajaran bagi semua pihak
yang terlibat langsung dalam proses pendidikan di sekolah, khususnya pada saat
pelaksanaan PLS tersebut.
Pada tahun pelajaran 2016//2017 merupakan
awal diterapkannya Pengenalan Lingkungan
Sekolah atau PLS bagi peserta didik baru sebagai pengganti Masa Orientasi Siswa atau MOS yang didasarkan pada Peraturan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 18 tahun 2016 tentang Pengenalan Lingkungan
Sekolah Bagi Siswa Baru yang disertai dengan instrumen pendukung lainnya
seperti silabus, formulir, dan contoh kegiatan dan atribut yang dilarang dalam
pelaksanaan pengenalan lingkungan sekolah.
Kelaziman sekolah melaksanakan PLS terebut merupakan upaya strategis pihak sekolah guna menyiapkan fisik dan psikis peserta didik baru terhadap lingkungan belajarnya yang baru, sehingga
diharapkan peserta
didik baru memiliki kesiapan mental dan fisik dalam
mengikuti proses pendidikan di sekolah yang baru tersebut. Kegiatan PLS
menjadi ‘pintu gerbang’ bagi peserta didik baru dalam beradaptasi dan memahami
kegiatan dan kehidupan di sekolah yang baru.
Terbitnya Peraturan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 18 tahun 2016 tentang Pengenalan
Lingkungan Sekolah Bagi Siswa, tidak terlepas dari berbagai kejadian dan kasus di lapangan ketika
sekolah masih terjadi praktik ‘perpoloncoan’ saat kegiatan MOS sebelumnya.
Dengan peraturan dan pola baru tersebut diharapkan tidak terjadi lagi kejadian
dan kasus yang merugikan peserta didik baru, karena dalam pelaksanaan PLS ini
pelaksanaannya sepenuhnya dilaksanakan oleh guru dan tidak melibatkan siswa
senior sebagaimana dalam pelaksanaan MOS.
Dalam peraturan menteri tersebut juga ada diberikan panduan silabus
PLS ,baik yang wajib maupun pilihan.
Pada kenyataannya, ketika kegiatan
MOS dulu dilaksanakan oleh sekolah membuat peserta didik
baru merasa kurang nyaman, was-was, dan tekanan
psikis lainnya. Tidak terkecuali juga dengan perasan orangtua mereka. Kegiatan
MOS bagi para orangtua diplesetkan menjadi “ Membuat Orangtua Stress”, karena orangtua terpaksa ikut sibuk dan pusing
dengan adanya berbagai hal yang harus disiapkan dan dsediakan untuk anak mereka
yang mengikuti MOS. Tidak jarang
orangtuanya pontang-panting mencarikan sesuatu barang yang mesti ada untuk dibawa
oleh anaknya sebagai syarat atau permintaan kakak pendampingnya, dan barang
tersebut ‘wajib’ ada.
Dengan
pelaksanaan PLS bagi peserta didik baru,
dapat menghilangkan praktik perpoloncoan
terhadap siswa
baru sehingga siswa
baru dapat merasa aman dan menikmati suasana yang lebih baik di sekolah yang
baru. Sekolah sudah
seharusnya menjadi lingkungan
yang menyenangkan dan zone aman bagi anak atau peserta didik baru sehingga
mereka mampu menjadi siswa
yang berbudi
pekerti luhur, berilmu pengetahuan, dan berkarater dan berbagai sifat dan sikap
yang ideal lainnya.
Demikian pula
dengan contoh kegiatan dan atribut yang dilarang dalam pelaksanaan PLS. Atribut
yang dilarang dipakai adalah tas karung, tas belanja palstik dan sejenisnya,
kaos kaki berwarna-warni, papan nama yang berbentuk rumit dan menyulitkan dalam
membuatnya, dan berisi konten yang tidak bermanfaat. Sedangkan aktivitas yang
dilarang antara lain memberikan tugas kepada siswa baru yang wajib membawa
suatu produk dengan merek tertentu, menghitung yang tidak bermanfaat, dan
sebagainya.
Berkaitan dengan kegiatan PLS sebagai langkah awal peserta didik memasuki kehidupan sebagai warga sekolah yang baru,
maka tentunya dengan kegiatan PLS bagi peserta didik
baru diarahkan menjadi manusia yang berbudi pekerti luhur,
mengerti hak dan kewajiban, mengetahui dan mentaati peraturan dan norma yang
berlaku di sekolah dan masyarakat, serta mengembangkan bakat dan potensi yang
ada pada dirinya. Sekolah dengan segala
sumber daya manusia dan kemampuan yang ada
tentunya dapat memaksimalkan dan mengoptimalkan potensi yang dimiliki oleh peserta didik baru untuk lebih berkembang secara maksimal dan
optimal. Pelaksanaan PLS bertujuan untuk mengenal
potensi diri, membantu peserta didik baru beradaptasi dengan lingkungan sekolah
dan sekitarnya, menumbuhkan motivasi, semangat dan cara belajar yang efektif
sebagai siswa baru, menumbuhkan interaksi positif dan sebagainya.
Penanaman konsep pengenalan potensi diri siswa tidak selalu identik dengan
penampilan fisik peserta didik baru yang dipenuhi atribut, seperti memakai topi lebar, membawa sapu
dan bakul, memasang nama sendiri yang dikalungkan, rambut siswa putri yang
dikepang dan berpita, serta berbagai bentuk ‘keanehan’ lainnya. Kegiatan PLS sejatinya menjadi
kegiatan yang menyenangkan dan membuat peserta didik baru merasa nyaman dan gembira, dan demikian
pula bagi orangtua mereka. Tidak ada kekhwatiran dan ketidaknyamanan ketika peserta didik
mengikuti kegiatan PLS.
Pemerintah melalui
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan koleganya di daerah telah memberikan
aturan dan rambu-rambu yang jelas, terarah, dan terukur
bagi sekolah dalam melaksanakan kegiatan PLS . Sekolah sebagai lembaga
pendidikan diharapkan dapat melaksanakan PLS sesuai dengan petunjuk dan
arahan yang telah digariskan, sehingga kegiatan PLS menjadi’ pintu masuk’ yang menyenangkan bagi
peserta didik baru di sekolah
yang akan menjadi tempat mereka menempa diri menjadi pribadi yang berakhlak mulia, berilmu pengetahuan, dan
mengembangkan bakat dan minatnya secara optimal. PLS dan sekolah menjadi zone
aman dan menyenangkan bagi peserta didik baru. Semoga
Post a Comment for "PLS, MASIH AMANKAH?"