Dunia anak-anak yang kami jalani dalam kebersamaan di kampung tercinta
beraneka ragam, dari sekolah, belajar mengaji, bermain, berenang, mencari ikan,
berburu burung, dan sebagainya. Kami melewatinya dengan kebersamaan dan
kegembiraan. Tidak ada televisi, radio, mobil remote kontrol, apalagi gadget. Semuanya menggunakan dan
memanfaatkkan alam sekitar sebagai wahana bermain. Alam sahabat terbaik kami
yang disediakan secara gratis oleh Tuhan Yang Maha Pencipta.
Seiring dengan perjalanan waktu, usiaku dan kawan-kawan bertambah. Bagi
kami anak laki-laki yang beragama Islam,
maka menjadi wajib melakukan khitan sebelum menginjak usia baliq , yaitu saat
usia yang menjadi batas wajibnya menunaikan ibadah bagi kami umat Islam,
seperti salat, puasa, dan rukun Islam lainnya.
Hari itu, sesuai dengan kesepakatan para orang tua kami, ada empat anak
yang akan khitan bersama di rumah orang tua Masrani. Adapun keempat anak yang
khitan tersebut adalah aku sendiri, Masrani, Ahmad Nusi, Masrami. Ahmad Nusi
itu merupakan sepupunya Masrani, rumahnya cukup jauh dari rumahku dan Masrani,
sedangkan Masrami itu adalah kakaknya Masrani.
Segala sesuatu untuk acara sebelum khitanan bersama itu dilaksanakan,
segala sesuatunya sudah disiapkan oleh orang tua kami. Pagi itu, sekitar pukul 09.00
dimulai kegiatan khitan. Sebelum
pelaksanaan khitan, terlebih dulu acara ‘badua
salamat’ , yaitu melakukan doa bersama untuk kesalamatan dan kelancaran
proses khitan kami. Orang tua kami
kumpulan menyediakan makanan untuk keperluan ‘badua salamat’ tersebut, seperti nasi ketan, kue cucur, dan berbagai kue ringan khas
daerah kami.
Kami berempat dengan memakai baju koko, kopiah, dan sarung duduk di
tengah rumah menghadapi sajian makanan tradisional khas kegiatan ‘badua salamat’ untuk khitan. Sementara
itu, di sekeliling ruang tengah rumah
orang tua Masrani ini sudah hadir keluarga dan undangan sekitar rumah
kami. Kai Dulah, orang yang dituakan di kampung kami, dan juga guru
mengaji aku, memimpin pembacaan doa untuk keselamatan proses khitan kami pagi
itu. Sesudah pembacaan doa, dilanjutkan
dengan makan bersama dari hidangan yang
sudah disediakan.
Tidak berapa lama kemudian, Mantri Ahwan yang bertugas mengkhitan kami
datang. Aku mulai gelisah dan takut, demikian juga kawan-kawan aku yang akan
khitan hari itu. Perasaan yang semula senang dan gembira, maka dengan hadirnya
mantri yang mengkhitan kami membuat suasana hati campur aduk, dan perasaan
takut mulai semakin kuat di dalam dadaku. Namun, apa boleh buat semua sudah
tidak dapat melakukan apa-apa. Kami pasrah apapun yang terjadi. Doa kami dan
doa para kerabat yang datang menjadi penguat hati kami dalam menghadapi pelaksanaan khitan tersebut.
“ Apakah kalian sudah siap untuk dikhitan,” kata Mantri Ahwan dengan
suaranya yang lembut namun menggetarkan bagi kami.
Sejenak kami diam, tidak dapat bersuara lagi rasanya karena rasa takut
yang menguasai perasaan kami. Keringat dingin pun mulai terasa, dan dengan
suara yang lemah tidak bertenaga kami pun
menjawab “ Insyaallah, siap “ .
“ Bagus, nah seperti itu anak-anak perkasa, “ ujar Mantri Ahwan
menyemangati kami.
“ Tidak usah takut. Cuma sedikit saja yang potong, masih banyak yang
tertinggal, “ ujar Mantri Ahwan sambil bercanda.
Mantri Ahwan adalah petugas medis yang bekerja di rumah sakit di Kota
Martapura. Rumah sakit terbesar di daerah kami saat itu. Beliau tinggal di
Payangan, sebuah kampung yang dekat dengan Kota Martapura. Tugasnya sebagai mantra yang rutin
mengunjungi kampung kami untuk membantu masyarakat dalam bidang kesehatan
membuat beliau dikenal masyarakat kampung kami, bahkan juga kampung-kampung
sekitarnya. Sudah banyak anak-anak di kampung kami yang pernah mendapat
pelayanan jasa khitan dari Mantri Ahwan tersebut.
Aku mendapat giliran ketiga masuk ke kamar untuk dikhitan. Takut terus
menyelimuti perasaanku, terlebih ketika mendengar kawan yang giliran dikhitan
lebih dulu teriak dan menanngis dengan kerasnya. Dari dua kawan yang masuk
kamar dan khitan lebih dulu dari aku, tidak ada satu pun yang keluar dengan
muka yang manis dan ceria. Semuanya dengan muka yang sedih. Aku mendapatkan
giliran ketiga masuk kamar untuk dikhitan. Ayah menuntunku masuk ke kamar dan
duduk di sampingku berbaring.
“ Kamu harus kuat ya nak, “ ujar ayah memberikan semangat dengan ku
“ Tidak apa-apa, hanya dipotong
sedikit saja, “ ucap Mantri Ahwan
“ Inggih, ulun siap yah, “
jawabku lirih.
“ Sebelum dipotong, suntik dulu ya, agar tidak terasa sakit, “ kata
Mantri Ahwan sambil mengambil jarum suntik.
Ingin rasanya aku menangis sekeras-kerasnya saat jarum suntik menusuk pada
sekitar bagian yang akan dipotong. Aku berontak, namun pegangan erat ayah pada
kaki membuatku tidak dapat berbuat banyak. Tidak berapa lama kemudian, rasa
sakit akibat disuntik bius tersebut sudah tidak terasa lagi.
“ Bagaimana, apakah sakit, “ ujar Mantri Ahwan sambil menyentil bagian
yang akan dikhitan tersebut.
“ Tidak,” jawabku singkat.
“ Baik, maka berarti siap dipotong ya , ” ujar Mantri Ahwan sambil
mengambil gunting dalam tempatnya yang tidak jauh dari tempat duduknya.
Aku semakin pasrah dengan keadaanku. Ayah selalu mendampingi diriku
saat Mantri Ahwan melaksanakan tugasnya hingga selesai dan berjalan lancar
proses khitan. Ada sekitar 30 menit proses khitanku, dan akhirnya aku
dipersilahkan berdiri dan keluar dari kamar. Aku diangkat oleh ayah saat keluar
kamar khitan, dan langsung dibawa pulang ke rumah yang letaknya tidak jauh dari
rumah orang tua Masrani.
Aku merupakan anak pertama dalam keluarga, sedangkan adikku perempuan.
Jadi, sebagai anak laki-laki pertama dalam keluarga harus berani, seperti
dengan melakukan khitan atau basunat
menurut sebutan orang kampung kami. Tentu, dalam beberapa hari ke depan aku
harus istirahat total di rumah, menjaga
agar lekas sembuh dan nantinya dapat bermain kembali bersama kawan-kawan dalam
keadaan sudah berkhitan.
****
Post a Comment for "Cerpen Kami Anak Sungai : Bagian 14. Khitan Barsama Kawan-kawan "