Cerpen Kami Anak Sungai : Bagian 14. Khitan Barsama Kawan-kawan



Dunia anak-anak yang kami jalani dalam kebersamaan di kampung tercinta beraneka ragam, dari sekolah, belajar mengaji, bermain, berenang, mencari ikan, berburu burung, dan sebagainya. Kami melewatinya dengan kebersamaan dan kegembiraan. Tidak ada televisi, radio, mobil remote kontrol, apalagi gadget. Semuanya menggunakan dan memanfaatkkan alam sekitar sebagai wahana bermain. Alam sahabat terbaik kami yang disediakan secara gratis oleh Tuhan Yang Maha Pencipta.
Seiring dengan perjalanan waktu, usiaku dan kawan-kawan bertambah. Bagi kami anak laki-laki  yang beragama Islam, maka menjadi wajib melakukan khitan sebelum menginjak usia baliq , yaitu saat usia yang menjadi batas wajibnya menunaikan ibadah bagi kami umat Islam, seperti salat, puasa, dan rukun Islam lainnya.
Hari itu, sesuai dengan kesepakatan para orang tua kami, ada empat anak yang akan khitan bersama di rumah orang tua Masrani. Adapun keempat anak yang khitan tersebut adalah aku sendiri, Masrani, Ahmad Nusi, Masrami. Ahmad Nusi itu merupakan sepupunya Masrani, rumahnya cukup jauh dari rumahku dan Masrani, sedangkan Masrami itu adalah kakaknya Masrani.
Segala sesuatu untuk acara sebelum khitanan bersama itu dilaksanakan, segala sesuatunya sudah disiapkan oleh orang tua kami. Pagi itu, sekitar pukul 09.00  dimulai kegiatan khitan. Sebelum pelaksanaan khitan, terlebih dulu acara ‘badua salamat’ , yaitu melakukan doa bersama untuk kesalamatan dan kelancaran proses khitan kami.  Orang tua kami kumpulan menyediakan makanan untuk keperluan ‘badua salamat’ tersebut, seperti nasi ketan, kue cucur, dan berbagai kue ringan khas daerah kami.
Kami berempat dengan memakai baju koko, kopiah, dan sarung duduk di tengah rumah menghadapi sajian makanan tradisional khas kegiatan ‘badua salamat’ untuk khitan. Sementara itu,  di sekeliling ruang tengah rumah orang tua Masrani ini sudah hadir keluarga dan undangan sekitar rumah kami.  Kai Dulah, orang yang dituakan di kampung kami, dan juga guru mengaji aku, memimpin pembacaan doa untuk keselamatan proses khitan kami pagi itu.  Sesudah pembacaan doa, dilanjutkan dengan makan bersama dari hidangan  yang sudah disediakan.
Tidak berapa lama kemudian, Mantri Ahwan yang bertugas mengkhitan kami datang. Aku mulai gelisah dan takut, demikian juga kawan-kawan aku yang akan khitan hari itu. Perasaan yang semula senang dan gembira, maka dengan hadirnya mantri yang mengkhitan kami membuat suasana hati campur aduk, dan perasaan takut mulai semakin kuat di dalam dadaku. Namun, apa boleh buat semua sudah tidak dapat melakukan apa-apa. Kami pasrah apapun yang terjadi. Doa kami dan doa para kerabat yang datang menjadi penguat hati kami dalam menghadapi  pelaksanaan khitan tersebut.
“ Apakah kalian sudah siap untuk dikhitan,” kata Mantri Ahwan dengan suaranya yang lembut namun menggetarkan bagi kami.
Sejenak kami diam, tidak dapat bersuara lagi rasanya karena rasa takut yang menguasai perasaan kami. Keringat dingin pun mulai terasa, dan dengan suara yang lemah tidak bertenaga kami pun  menjawab “ Insyaallah, siap “ .
“ Bagus, nah seperti itu anak-anak perkasa, “ ujar Mantri Ahwan menyemangati kami.
“ Tidak usah takut. Cuma sedikit saja yang potong, masih banyak yang tertinggal, “ ujar Mantri Ahwan sambil bercanda.
Mantri Ahwan adalah petugas medis yang bekerja di rumah sakit di Kota Martapura. Rumah sakit terbesar di daerah kami saat itu. Beliau tinggal di Payangan, sebuah kampung yang dekat dengan Kota Martapura.  Tugasnya sebagai mantra yang rutin mengunjungi kampung kami untuk membantu masyarakat dalam bidang kesehatan membuat beliau dikenal masyarakat kampung kami, bahkan juga kampung-kampung sekitarnya. Sudah banyak anak-anak di kampung kami yang pernah mendapat pelayanan jasa khitan dari Mantri Ahwan tersebut.
Aku mendapat giliran ketiga masuk ke kamar untuk dikhitan. Takut terus menyelimuti perasaanku, terlebih ketika mendengar kawan yang giliran dikhitan lebih dulu teriak dan menanngis dengan kerasnya. Dari dua kawan yang masuk kamar dan khitan lebih dulu dari aku, tidak ada satu pun yang keluar dengan muka yang manis dan ceria. Semuanya dengan muka yang sedih. Aku mendapatkan giliran ketiga masuk kamar untuk dikhitan. Ayah menuntunku masuk ke kamar dan duduk di sampingku berbaring.
“ Kamu harus kuat ya nak, “ ujar ayah memberikan semangat dengan ku
 “ Tidak apa-apa, hanya dipotong sedikit saja, “ ucap Mantri Ahwan
Inggih, ulun siap yah, “ jawabku lirih.
“ Sebelum dipotong, suntik dulu ya, agar tidak terasa sakit, “ kata Mantri Ahwan sambil mengambil jarum suntik.
Ingin rasanya aku menangis sekeras-kerasnya saat jarum suntik menusuk pada sekitar bagian yang akan dipotong. Aku berontak, namun pegangan erat ayah pada kaki membuatku tidak dapat berbuat banyak. Tidak berapa lama kemudian, rasa sakit akibat disuntik bius tersebut sudah tidak terasa lagi.
“ Bagaimana, apakah sakit, “ ujar Mantri Ahwan sambil menyentil bagian yang akan dikhitan tersebut.
“ Tidak,” jawabku singkat.
“ Baik, maka berarti siap dipotong ya , ” ujar Mantri Ahwan sambil mengambil gunting dalam tempatnya yang tidak jauh dari tempat duduknya.
Aku semakin pasrah dengan keadaanku. Ayah selalu mendampingi diriku saat Mantri Ahwan melaksanakan tugasnya hingga selesai dan berjalan lancar proses khitan. Ada sekitar 30 menit proses khitanku, dan akhirnya aku dipersilahkan berdiri dan keluar dari kamar. Aku diangkat oleh ayah saat keluar kamar khitan, dan langsung dibawa pulang ke rumah yang letaknya tidak jauh dari rumah orang tua Masrani.
Aku merupakan anak pertama dalam keluarga, sedangkan adikku perempuan. Jadi, sebagai anak laki-laki pertama dalam keluarga harus berani, seperti dengan melakukan khitan atau basunat menurut sebutan orang kampung kami. Tentu, dalam beberapa hari ke depan aku harus istirahat total di rumah,  menjaga agar lekas sembuh dan nantinya dapat bermain kembali bersama kawan-kawan dalam keadaan sudah berkhitan.
****

Post a Comment for "Cerpen Kami Anak Sungai : Bagian 14. Khitan Barsama Kawan-kawan "