Sore itu, aku pulang dari Pasar Martapura bersama ibu. Hari itu Jumat, hari pasaran di Martapura. Dalam seminggu,hari pasarnya ada
dua, yaitu Selasa dan Jumat. Aku dan ibu
naik taksi kapal klotok yang akan mengantarkan kami dan penumpang lainnya ke
rumahyang beradadi pinggiran Sungai Martapura, seperti kampung Pakauman,
Melayu, Kramat, Telok Selong, Dalam Pagar, Kamasan, dan kampung kami, Sungai Tabuk.
Aku berdiri di buritan kapal sebelum kapal klotoknya berangkat.
Akulihat sore itu ada keramaiandi sekitar pelabuhan kapal klotok yang berada
sekitar 400 meter dari Masjid Agung Al Karamah Martapura, masjid terbesar di Kota Martapura. Dari kapal klotok yang aku
tumpangi itu, terlihat beberapa orang dengan
menggunakan jukung melakukan aktivitas mencari ikan dengan menggunakan
bom ikan. Sesekali terlihat ada yang mengangkat ikan pipih dari Sungai Martapura. Terlihat kondisi ikan
pipihnya masih segar,meski masih sudah dalam keadaan lemas tidak berdaya.
Kapal mulai jalan setelah semua penumpang masuk sesuai dengan
jumlah yang sudah ditentukan. Kapal kami
melewati para penangkap ikan tersebut yang menjadi tontonan masyarakat banyak
sore itu. Gemuruh suara mesin kapal klotok yang kami tumpangi membuat suara tidak dapat terdengar
jelas, kami di dalam kapal hanya diam seraya memandang lingkungan sekitar yang
dilewati oleh kapal. Aku duduk di samping ibu pada bagian tengah kapal.
Satu per satu penumpang taksi kapal klotok turunkan pada tempatnya
masing-masing. Tempat tersebut adalah batang.
Batang merupakan lanting di Sungai
Martapura yang dibuat dari dari kumpulan bambu sedemikian. Batang menjadi tempat mandi,
cuci pakaian, dan jamban atau WC warga
sekitar. Naik dan turunnya para penumpang kapal klotok melalui batang tersebut
yang banyak terdapat di sepanjang aliran
Sungai Martapura sekitar Kota Martapura.
Sekitar satu jam perjalanan dengankapal klotok yang sering singgah mengantarkan
penumpangnya, akhirnya sampai juga aku dan ibu ke rumah. Sesampai di batang
kami dekat rumah, aku dan ibu segera
turun.
“ Nang, bawakan belanjaan itu yang dalam bakul purun itu, ” ujar ibuku
sebelum keluar dari kapal klotok.
“ Inggih bu, “ jawabku seraya
mengambil barang yang dimaksud.
Hari mulai senja ketika aku dan ibu sampai di rumah. Belanjaan itu
tidak banyak, hanya beberapa keperluan rumah tangga sehari-hari yang beliau
beli. Malam pun tiba menyelimuti kampung kami. Hanya sinar rembulan yang menerangi jalan kampung kami. Selepas Isya aku langsung masuk ke dalam
kelambu yang sudah disiapkan ibuku. Aku tidur sendirian dalam kelambu tersebut.
Pagi Sabtu, udara musim kemarau membuat cuaca dingin pagi itu. Sehabis
pulang dari sekolah yang dekat rumah, aku pergi sendirian ke sawah untuk
membantu pamanku yang sedang bekerja bersama ayahku membuat kolam ikan di areal sawahnya. Setelah sebentar membantu
paman membuat kolam ikan, aku pamit pulang ke rumah, karena
sesudah Zuhur nanti akan pergi belajar
lagi siang hingga sore ke madrasah di
kampung seberang sungai.
Aku langsung menuju ke Sungai Martapura untuk mandi siang itu. Sebelum
berjebur ke sungai, terlihat sekitar 15
meter dari pinggir sungai ada suatu
benda yang cukup besar berwarna putih yang terkadang muncul ke permukaan air,
terkadang masuk air lagi. Sementara itu,
keadaan sekitar sepi, tidak ada seorang pun yang mandi atau berada di tepi
sungai. Aku memberanikan diri berjebur ke
sungai untuk mendekati dan
memastikan benda apa yang putih tersebut.
Saat benda putih itu semakin dekat denganku, ternyata seekor ikan pipih
besar yang sedang dalam keadaan mabuk atau pingsan. Segera aku berenang
menangkap ikan pipih besar yang sedang mabuk atau pingsan tersebut. Aku tarik
dengan sekuat tenaga ikan pipih besar itu, hingga akhirnya sampai ke tepi
sungai. Wooww, ternyata ikan pipihnya lebih panjang dari badanku sendiri. Aku
panggil ibuku yang ada di rumah dengan tergopoh-gopoh.
“ Ada apa Nang, tergopoh-gopoh memanggil,” kataibuku saat aku berada di
depanpintu rumah.
“ Akudapat ikanpipih besar bu di sungai, ”jawabku dengan suara gugup.
“ Iyakah Nang,” jawab ibuk sedikit heran.
Nang atau Anang merupakan panggilan saying keluarga dekat denganku.
Mereka jarang memanggil dengan namaku sendiri, terlebih ibuku sendiri.
“ Mampukah kamu mengangkat sendiri,Nang, “ ujar ibu
“ Inggih, bu.Ikan pipihnya sudah ada di pelataran rumah kita, ”jawabku
sambil menunjukkan di mana ikan pipih tersebut aku letakkan.
“ Waduh, besarnya ikan pipih yang kamu dapatkan Nang, “ ujar ibuku lagi
setelah melihat ikan pipih yang berada di pelataran rumahku.
“ Iya bu, Mungkin ikan pipih ini adalah salah satu korban bom ikan di
dekat pelabuhan kapal klotok semalam,”ujarku.
“ Boleh jadi Nang,” kata ibuku
lagi sambil mengangguk-angguk.
Mungkin sekali, bahwa ikan pipih besar yang aku dapatkan di Sungai
Martapura dekat rumahku itu merupakan salah satu korban dari orang-orang yang
mencari ikan dengan menggunakan bom ikan di dekat pelabuhan kapal klotok dekat
Pasar Martapura pada sore Jumat kemarin. Dugaanku tersebut berdasarkan
kenyataan yang aku lihat sendiri, karena selama semalam ikan pipih besar itu
bertahan dari pengaruh bom ikan tersebut, hingga akhirnya ikan pipih itu tidak berdaya sama sekali saat aku
tangkap.
“ Nang, ikan ini kita jual saja, coba kamu datangi Gulu Handri, ‘ujar ibuku.
Kondisi ikan pipih yang besar tersebut
tidak dapat dimasak oleh ibu, oleh sebab itu ibuku menyarankan agar
dijual saja ke pengepul dan pedagang ikan di kampung kami yang bernama Handri.
Beliau tersebut masih keluarga dekat aku
juga, yang biasa dipanggil Gulu Handri. Aku pun segera kerumah Gulu Handri, dan kebetulan orangnya ada
di rumah.
“ Ada apa Lan,”ujar Gulu Handri ketika aku sampai di
rumahnya.
“ Mau jual ikan pipih, ikannya
ada di rumah ” jawabku.
“ Nanti, aku mau lihat dulu “ jawab Gulu
Handri
Gulu Handri bersamaku datang ke
rumah untuk melihat ikan pipih yang aku tawarkan. Katika melihat ikan pipih
yang aku dapatkan, Gulu Handri terkejut.
“ Waduh,besar sekali ikannya, aku tidak mampu membelinya, kita bawa
langsung ke pasar saja, ”ujarGulu Handri.
“Iyakah, “ujar ibuku.
Segera ikan pipih itu dibawa
oleh Gulu Hendri bersamaku ke Pasar Martapura,
karena kondisinya masih segar. Aku duduk di boncengan sepeda Gulu Hendri, sedangkan ikan pipihnya
digantung pada kemudi sepada, dan itu
pun ekornya masih menyangkut ke tanah, karena panjangnya ikan pipih tersebut.
Sesampai di Pasar Martapura siang itu, langsung mencari pedagang ikan
yang ada di blok penjualan ikan. Aku tidak paham dengan urusan jual beli ikan,
semua diserahkan dengan Gulu Handri
yang sudah kenal dengan pedagang ikan di pasar tersebut. Tidak lama kemudian,
urusan jual beli ikan pipih selesai, dan kami langsung pulang. Hasil penjualan
ikan pipih itu kemudian aku serahkan dengan ibu, sedangkan sebagiannya
diberikan kepada Gulu Handri yang membantu menjualkan ikan tersebut ke pasar. Rezeki kami anak sungai.
****
Post a Comment for "Cerpen Kami Anak Sungai : Bagian 15. Mendapat Ikan Pipih Besar"