Aku berjalan mendatangi rumah Aswan siang itu. Rumah Aswan berjarak
sekitar 500 meter dari rumahku. Rumah orang tua Aswan cukup besar, dan
merupakan salah satu rumah di kampung kami yang terbilang mewah. Jika mau masuk ke rumahnya, maka harus menaiki beberapa anak tangga. Rumah tersebut
terbuat dari kayu ulin dengan pintu dan
jendala yang besar. Halaman
rumahnya juga luas, dan menjadi salah
tempat favorit anak-anak sekitar bermain.
Siang itu, aku mendatangi Aswan di rumahnya untuk memastikan apakah dia
jadi ikut mendaftar untuk belajar pada madrasah di kampung seberang. Maklum
saja, di kampung kami belum ada mempunyai
madrasah, atau biasa disebut
masyarakat kampung kami ‘sekolah arab’. Di kampung kami baru ada sekolah dasar
(SD) , dan aku duduk di kelas 2.
“ Assalamualaikum “ ucapku sambil mengetuk pintu rumah Aswan.
“ Waalaikumsalam “ terdengar suara laki-laki tua menyahut dari dalam.
Lalu, laki-laki tua itu membuka pintu rumah.
“ O,kamu kah Lan” ucap laki-laki tua yang datang menghampiriku.
“ Inggih,Kai, ulun Ilan “
jawabku.
Ternyata yang membalas salam dan menemuiku adalah ayah Aswan. Beliau sering
dipanggil dengan nama Kai Main. Sedangkan nama lengkap beliau
adalah Armain. Beliau merupakan salah
satu tokoh masyarakat di kampungku yang disegani masyarakat. Aku memanggil
beliau kai atau kakek.
“ Aswan adakah Kai “kataku
lagi.
“ Ya, ada. Dia lagi makan di dalam “ ujar Kai Main.
“ Inggih “jawabku singkat.
“ Kamu tunggu lah sebentar, aku mau ke dalam “ujar Kai Main lagi.
Aku menunggu Aswan di pelataran rumahnya yang luas, dan tidak lama
kemudian Aswan keluar dan menemuiku.
“ Bagaimana, jadikah kita sore ini mendaftar ke madrasah
di seberang “ ucapku saat sudah duduk bersama Aswan di pelataran rumahnya.
“ Iya, jadi. Lalu, bagaimana dengan Masrani dan Syaifudin” ujar Aswan
menjawab.
“ Aku belum ketemu juga dengan mereka, apakah jadi ikut atau tidak”
jawabku.
“ Kalau begitu, bagaimana kita temui saja mereka di rumahnya”ujar Aswan mengajakku.
“ Ayo, kita ke rumahnya” jawabku singkat.
Kami berdua segera mendatangi
Syaifudin dan Masrani di rumahnya masing-masing untuk memastikan mereka
jadi mendaftar di madrasah kampung
seberang. Ternyata Syaifudin dan Masrani turut bergabung dengan kami untuk
mendaftar ke madrasah di kampung seberang.
Kami berempat sepekat selepas Shalat Zuhur akan berangkat ke kampung
seberang untuk mendaftarkan diri menjadi santri madrasah di kampung tersebut.
Selepas Shalat Zuhur Aku,Masrani,Syaifudin,dan Aswan berkumpul di
rumahku. Kami berkumpul untuk mewujudkan rencana yang sudah disepakati, yaitu
mau mendaftar ke madrasah yang ada di kampung seberang Sungai Martapura. Dari pelataran bagian belakang
rumahku dapat terlihat kampung seberang
dengan jelas, termasuk bangunan madrasah yang akan kami datangi.
“ Lan, jukung yang dipakai untuk ke seberang” ujar Aswan membuka
pembicaraan.
“ Itu, jukung Masraniyang sudah siap di tumpakan” ujarku menjawab.
“Ooh, yang itukah” jawab Aswan sambil menunjukkan jarinya pada sebuah jukung yang cukup besar yang talinya
masih terikat pada tiang tumpakan.
Jukung merupakan sebutan
masyarakat kami orang Banjar,yaitu perahu atau sampan. Sedangkan yang dimaksud
dengan tumpakan adalah sejenis pelabuhan tempat mandi dan aktivitas lainnya
yang dibuat di tepi sungai. Terbuat dari kayu galam maupun kayu ulin.
“Ayo,Din.Kamu yang mengayuh jukung dengan Iran ” ujarku mengajak
Syaifudin dan Masrani naik jukung.
“ Ya, ayo kita naik “lanjut Aswan mengajak naik jukung.
Kami pun berangkat naik jukung ke seberang dengan menyeberangi Sungai
Martapura yang jaraknya sekitar 250 meter. Syaifudin mengayuh di buritan,
sedangkan Masrani di haluan jukung. Aku dan Aswan duduk manis di tengah-tengah
jukung untuk menjaga keseimbangan jukung itu sendiri. Rencananya pada pulang
nanti aku dan Aswan yang mendayung. Jadi,kami bergatian mendayung jukung
tersebut.
Beberapa saat kemudian sampailah jukung kami di kampung seberang.
Jukung kami tambatkan di tumpakan milik Kai
Saleh. Selanjutnya, kami berjalan kaki menuju rumah ustad yang mengajar pada
madrasah tersebut yang jaraknya sekitar
500 meter. Kami mendaftar dulu dengan ustad tersebut,beliau dikenal dengan
panggilan Guru Matzai. Nama asli Guru Matzai adalah Muhammad Zaini, tetapi
dikenal masyarakat dengan panggilan Guru Matzai.
“ Kalian memang mau belajar di madrasahkah ” ujar Guru Matzai menanyai
kami saat datang dan mendaftar ke rumahnya.
“ Inggih, Guru, kami mau belajar di madrasah “ jawab Syaifudin mewakili
kami berempat.
“ Baiklah, kalau begitu,mulai
esok siang kalian sudah dapat masuk “ kata Guru Matzai kembali.
“ Inggih, terima kasih “ ucap kami semua.
Selanjutnya, kami mohon pamit dan bersalaman dengan Guru Matzai untuk pulang ke rumah kami di
sebarang sungai, dan besok kami akan kembali lagi untuk belajar di madrasah dan
di kelas yang baru. Meski kami sudah duduk di kelas 2 sekolah dasar, tetapi di
madrasah tersebut kami berempat harus duduk di kelas 1, karena mata pelajarannya sangat jauh berbeda.
Pada sekolah dasar kami diajari mata pelajaran umum, seperti berhitung,
ilmu pengetahuan alam, dan sebagainya. Sedangkan di madrasah itu belajar ilmu
agama (Islam) sepenuhnya, seperti al
quran, nahu, syaraf, dan sebagainya,yang dikenal juga sebagai madrasah diniyah.
Dengan demikian, aku dan kawan-kawan yang mendaftar di madrasah tersebut akan
belajar penuh setiap hari. Kalau pagi belajar
di sekolah dasar atau sekolah umum, sedangkan pada siang harinya belajar
di madrasah atau sekolah agama.
Kami menuju jukung yang ditambatkan pada tumpakan Kai Saleh. Aku
mendayung pada bagian buritan,sedangkan Aswan
di bagian haluan jukung.
Syaifudin dan Masrani dengan
manisnya duduk di tengah-tengah jukung sambil menggerakkan jari-jemarinya ke
air sungai. Tidak berapa lama kemudian jukung sudah sampai ke tempat semula.
Setelah jukung diikat pada tempatnya, kami pun segera beranjak untuk naik ke
darat dan kembali ke rumah masing-masing guna beristirahat bersama keluarga.
****
Post a Comment for "Cerpen Kami Anak Sungai : Bagian 8. Masuk Madrasah di Kampung Seberang"