Menurut data dari Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar dan Menengah Kemendikbudristek yang dilansir dari katadata.co.id , bahwa jumlah guru di Indonesia semester ganjil tahun ajaran 2022/2023 sebanyak 3,3 juta, yang bertugas pada Taman Kanak-Kanak (TK), Kelompok Bermain (KB) , PAUD sejenis, Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA),dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Mayoritas guru tersebut mengajar di Sekolah Dasar (SD) , yaitu sekitar 1,46 juta guru atau 43,83%. Kemudian, secara komposisi jumlah guru yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) sekitar 52 %, sedangkan guru yang bertatus honorer atau Guru Tidak Tetap (GTT) sekitar 48 %.
Dalam
birokarasi pemerintahan, jumlah guru yang berstatus PNS menempati jumlah
terbanyak dibandingkan dengan PNS lainnya. Bahkan, apabila dikomulatifkan dengan guru yang berstatus honorer
atau GTT tentunya jumlahnya akan semakin banyak lagi. Tentunya, potensi jumlah
guru yang relatif besar ini akan semakin banyak lagi jumlahnya jika ditambah dengan isteri, atau suami, dan
anak-anak mereka yang berhak memilih.
Pada agenda pemilihan umum kepala daerah (pilkada) misalnya, penggalangan atau mobilisasi massa terhadap kalangan guru ini
sangat masiv dan sering dilakukan oleh calon kepala dearah atau tim suksesnya untuk
mendapatkan dukungan politik dan suara bagi kemenangannya. Bakal calon kepala
daerah, khususnya dari petahan (incumbent)
yang akan maju lagi pada peridoe berikutnya dalam praktiknya banyak melakukan
penggalangan massa dari kalangan guru melalui jalur formal maupun
nonformal. Mereka mengemasnya dengan
berbagai kegiatan yang bersifat kedinasan, organisasi, atau profesi
melalui dinas pendidikan atau organisasi profesi guru. Melalui agenda kedinasan
menjadi jalur masuk untuk memobilisasi guru untuk kepentingan politik petahana.
Sebagaimana
dimaklumi bersama bahwa organisasi profesi guru secara finansial, struktural, dan etika
organisasi masih relatif sangat lemah, sehingga mudah diinterversi dan dimanfaatkan oleh pihak-pihak tententu untuk
meraih keuntungan pribadi atau kelompoknya dengan mengatasnamkan pengurus atau nama organisasi profesi tersebut. Kelamahan guru, khusunya dalam sesi organisasi, menjadi pintu masuk yang sering
kali digunakan oleh tim sukses atau calonnya langsung untuk menggalang dan
mendulang suara guru dalam kontestasi politik, khususnya pilkada.
Tidak
menutup kemungkinan adanya elit pengurus organisasi profesi guru yang juga memiliki kepentingan pribadi dalam
kontesasi politik tersebut. Simbosis mutualisme dan konsesi jabatan
dengan memanfaatkan organisasi profesi guru menjadi hal yang sulit dihindari
dalam sistem perpolitikan saat ini. Kepentingan sesaat dapat mengalahkan
idealisme dan profesionalisme.
Guru
adalah agen pembaharuan di masyarakat memiliki peran penting dalam turut serta
mencerdaskan masyarakat dalam politik, tanpa harus terjun langsung dalam
politik praktis atau menjadi tim sukses dan sejenisnya. Kehadirian guru di
tengah hiruk pikuk dunia perpolitikan masyarakat yang mulai memanas saat ini
diharapkan dapat membantu terselenggaranya kegiatan pemiihan umum (pemilu)
tahun 2024 yang akan datang berlangsung demokratis, jurdil, dan damai demi
negara dan bangsa Indonesia yang sejahtera. Semoga.
Post a Comment for "GURU DAN TAHUN POLITIK "