GURU DAN TAHUN POLITIK

 


Pada tahun 2024 yang akan datang bangsa Indonesia akan menggelar pesta demokrasi lima tahunan, yaitu pemilihan umum yang bertujuan untuk memilih anggota legislatif (pileg)  dan  pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres) periode 2024-2029. Kita berharap kondisi negara dan bangsa dalam menghadapi tahun politik 2024 tersebut tetap dalam kondisi yang aman, damai, dan tentram. Proses pilpres dan pileg tersebut juga diharakan dapat menghasilkan pemimpin yang amanah dan mampu membawa masyarakat Indonesia yang lebi baik lagi sebagaimana harapan kita bersama.

Menurut data dari Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar dan Menengah Kemendikbudristek yang dilansir dari katadata.co.id , bahwa jumlah guru di Indonesia semester ganjil tahun ajaran 2022/2023 sebanyak 3,3 juta, yang bertugas pada Taman Kanak-Kanak (TK), Kelompok Bermain (KB) , PAUD sejenis, Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA),dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Mayoritas guru tersebut mengajar di Sekolah Dasar (SD) , yaitu sekitar 1,46 juta guru atau 43,83%. Kemudian, secara komposisi jumlah guru yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) sekitar 52 %, sedangkan guru yang bertatus honorer atau Guru Tidak Tetap (GTT) sekitar 48 %.

Dalam birokarasi pemerintahan, jumlah guru yang berstatus PNS menempati jumlah terbanyak dibandingkan dengan PNS lainnya. Bahkan,  apabila  dikomulatifkan dengan guru yang berstatus honorer atau GTT tentunya jumlahnya akan semakin banyak lagi. Tentunya, potensi jumlah guru yang relatif besar ini akan semakin banyak lagi jumlahnya  jika ditambah dengan isteri, atau suami, dan anak-anak mereka  yang berhak memilih.  

Pada agenda pemilihan umum kepala daerah (pilkada) misalnya,  penggalangan atau  mobilisasi massa terhadap kalangan guru ini sangat masiv dan sering dilakukan oleh calon kepala dearah atau tim suksesnya untuk mendapatkan dukungan politik dan suara bagi kemenangannya. Bakal calon kepala daerah, khususnya dari  petahan (incumbent) yang akan maju lagi pada peridoe berikutnya dalam praktiknya banyak melakukan penggalangan  massa dari  kalangan guru melalui jalur formal maupun nonformal.  Mereka mengemasnya dengan berbagai kegiatan yang bersifat kedinasan, organisasi, atau  profesi  melalui dinas pendidikan atau organisasi profesi guru. Melalui agenda kedinasan menjadi jalur masuk untuk memobilisasi guru untuk kepentingan politik petahana.

Organisasi profesi guru sendiri terkadang tidak dapat sepenuhnya bersih atau steril dari intervensi politik. Suara guru yang potensial dapat menjadi peluang guna mendulang suara bagi kemenangan calon kepala daerah dan kepala negara (bupati, gubernur, dan presiden) dan calon anggota legislatif (kabupaten, provinsi, dan nasional). Pendekatan yang bersifat struktural, personal, dan emosional menjadi jalur  yang terbuka lebar untuk melakukan penggalangan dan mobilisasi  untuk meraih suara sebanyak-banyak dari kalangan guru dan keluarganaya  dalam pilkada, pileg, atau bahkan pilpres.  

Sebagaimana dimaklumi bersama bahwa organisasi profesi guru  secara finansial, struktural, dan etika organisasi masih relatif sangat  lemah,  sehingga mudah diinterversi dan  dimanfaatkan oleh pihak-pihak tententu untuk meraih keuntungan pribadi atau kelompoknya dengan mengatasnamkan pengurus  atau nama organisasi profesi tersebut.  Kelamahan guru, khusunya dalam sesi  organisasi, menjadi pintu masuk yang sering kali digunakan oleh tim sukses atau calonnya langsung untuk menggalang dan mendulang suara guru dalam kontestasi politik, khususnya pilkada.

Tidak menutup kemungkinan adanya elit pengurus organisasi profesi guru yang  juga memiliki kepentingan pribadi dalam kontesasi politik tersebut. Simbosis mutualisme dan konsesi jabatan dengan memanfaatkan organisasi profesi guru menjadi hal yang sulit dihindari dalam sistem perpolitikan saat ini. Kepentingan sesaat dapat mengalahkan idealisme dan profesionalisme.

Guru sebagai sosok pribadi dan warganegara dalam masyarakat di daerah masih dianggap memiliki pengaruh dan  menjadi tokoh panutan bagi masyarakatnya.  Oleh sebab itu, guru harus dapat menjadi sosok pribadi yang dapat menjadi teladan yang baik dalam proses politik yang mulai hangat sekarang ini. Menjadi penganjur kepada masyarakat agar menjadi pemilih yang baik dan cerdas serta tidak  bersifat golput adalah salah satu hal dapat dilakukan oleh guru di masyarakatnya. Pemahaman masyarakat tentang politik pada umumnya masih awam, maka dengan adanya kehadiran guru sebagai orang yang berpendidikan dan ‘melek’ politik dapat menjadi agen pencerahan masalah politik bagi masyarakat di sekitarnya.

Guru adalah agen pembaharuan di masyarakat memiliki peran penting dalam turut serta mencerdaskan masyarakat dalam politik, tanpa harus terjun langsung dalam politik praktis atau menjadi tim sukses dan sejenisnya. Kehadirian guru di tengah hiruk pikuk dunia perpolitikan masyarakat yang mulai memanas saat ini diharapkan dapat membantu terselenggaranya kegiatan pemiihan umum (pemilu) tahun 2024 yang akan datang berlangsung demokratis, jurdil, dan damai demi negara dan bangsa Indonesia yang sejahtera. Semoga.

Post a Comment for "GURU DAN TAHUN POLITIK "