Cerpen Kami Anak Sungai : Bagian 24. Musim ‘Manjatu’ Buah Kasturi (2)


Sekitar 15  menit kami menapaki  jalan setapak dan melintasi aliran  Sungai Tabuk yang kering, akhirnya sampai di tempat tujuan. Betapa terkejutnya aku dan kawan-kawan ketika menjelang beberapa meter di tempat tujuan. Sekitar beberapa meter dari hadapan kami melintas seekor  biawak cukup besar yang keluar dari semak-semak dekat pohon kasturi yang kami datangi tersebut. 
“ Ohh… biawak rupanya, “  ucap Masrani yang berada paling depan dari yang lain.
“ Iyakah, ku kira apa tadi, “ ujarku dengan suara yang bergetar karena terkejut.

Memang. Di sekitar pohon kasturi yang dimiliki keluargaku tersebut lahannya penuh dengan rumpun batang banban yang tumbuh liar dengan subur  dan rimbunya, sehingga menjadi tempat persembunyian yang cukup aman bagi binatang liar, seperti biawak tadi. Tidak jarang juga di rerimbunan tersebut terdapat sarang penyengat besar atau dalam bahasa kami namanya tambuan.
Nang,dengan  siapa kamu datang, “ sapa ayahku yang sedang bersih-bersih lahan tanah milik keluarga saat  aku dan kawan-kawan sampai di bawah pohon kasturi tersebut.
Ulun datang dengan kawan-kawan,yah, “jawabku.
Rupanya ayahku sudah lebih dulu membersihkan lahan yang adadi bawah dan sekitar pohon kasturi, sehingga saat aku dan kawan-kawan datang sudah sebagian besar lahannya bersih. Ayahku juga memberikan beberapa biji buah kasturi yang beliau dapatkan untuk kami makan bersama.
“ Kawan-kawan,mau buah kasturi kah,”ujarku dengan kawan-kawan.
“ Mau, Lan, “ jawab kawan-kawan hampir serentak. 
Aku dan kawan-kawan memilih buah kasturi yang diberikan oleh ayahku. Masing-masing mengambil  dua biji yang buahnya sudah matang dan cukup besar. Ada yang mengupas pakai parang , tetapi ada juga kawan yang menggigitnya langsung tanpa dikupas kulitnya. Aku dan Aswan mengupas  pakai parang, sedangkan Masrani dan  Syaifudin langsung digigitnya.
“Manis kah  Din kasturinya, “ ujarku dengan Syaifudin yang sedang menggigit buah kasturinya.
“Iya, Lan.  Manis sekali, coba nanti kalau kamu sudah memakannya, “ jawab Syaifudin yang semakin asyik menggigit buah kasturinya.

Ya. Aku dan Asawan masih berupaya mengupas kulit buah kasturi, sehingga  masih belum merasakan enak dan manisnya buah kasturi yang  lama ditunggu-tunggu kehadirannya, karena buahnya hanya setahun sekali. Sedangkan yang menggigit buah kasturi dapat langsung merasakan enak dan manisnya buah kasturi yang banyak mengandung serat tersebut.
Lan, sekarang apa  yang kita kerjakan, “ tanya Masrani denganku setelah kami selesai makan buah kasturi.
“ Bagaimana kalau buat lalampauan untuk tempat menunggu buah kasturi jatuh dan beristirahat, “ jawabku.
“ Benar, Lan. Kita buat lalampauan saja, lagi pula lahan sekitar bawah pohon kasturinya sudah cukup bersih, jadi tinggal lalampauannya saja, “ ujar Aswan menambahi jawabanku.
Kami pun  bersiap-siap mencari bahan yang ada di sekitar pohon kasturi untuk dijadikan lalampauan yang berada di bawah pohon kasturi tersebut. Lalampauan  merupakan sejenis gubuk kecil yang berukuran lebar dan  panjang sekitar dua meter , dan tinggi sekitar satu meter berbentuk panggung. Jarak lantainya dari tanah sekitar 30-40 cm. Atap dan dindingnya terbuat dari daun kelapa, sedangkan lantainya dari bilah bambu atau kayu galam yang disusun sedemikian rupa, kemudian di atas lantai tersebut digelar tikar purun.
“ Lan,  kemana arah depannya, “ tanya Aswan denganku yang sedang memasang tiang lalampauan  tersebut  bersama Masrani dan Syaifudin.
“ Mengarah ke timur, “ jawabku.
Kami membuat lalampauan tersebut sesuai dengan selera dan keinginan kami bersama. Tanpa ada arahan atau bimbingan orang lain, termasuk orang tua kami. Kami berkreasi sendiri sesuai dengan selera dan keinginan, termasuk saat membuat lalampauan tersebut.  Dalam membuat lalampauan itu kami tidak menggunakan paku, kami menggunakan tali dari batang banban yang banyak terdapat di sekitar pohon kasturi tersebut. Aswan bertugas mencari dan mengolah batang banban sebagai tali temali dalam pembuatan lalampauan itu.
“ Wan,sudah selesaikah membuat tali dari banbanya,”tanya Masrani  dengan Aswan.
“ Sudah,Ran.  Sebentar akan aku bawakan ke sana, “ jawab Aswan.
Masrani merupakan kawan kami yang memiliki bakat dalam bertukang, sebab ayahnya merupakan salah satu tukang membuat  rumah masyarakat  di kampung kami. Ayahnya dikenal sebagai tukang pembuat rumah.  Nama beliau Bukhari, dan aku memanggilnya  dengan sebutan Kai Bukhari. Masrani dapat dikatakan sebagai  anak yang mewarisi keahlian ayahnya sebagai tukang rumah, sehingga ketika kami membuat lalampauan tersebut, maka Masrani menjadi arsiteknya.
“ Lan, ambilkan parang, aku mau ada yang dipotong, “ ujar Masrani denganku.
“ Iya,Ran. Aku ambilkan, tunggu sebentar, “ jawabku sambil berjalan mengambil parang yang aku letakkan sebelumnya dekat pohon kasturi….
****

Post a Comment for "Cerpen Kami Anak Sungai : Bagian 24. Musim ‘Manjatu’ Buah Kasturi (2)"