Sekitar 15 menit kami
menapaki jalan setapak dan melintasi
aliran Sungai Tabuk yang kering,
akhirnya sampai di tempat tujuan. Betapa terkejutnya aku dan kawan-kawan ketika
menjelang beberapa meter di tempat tujuan. Sekitar beberapa meter dari hadapan
kami melintas seekor biawak cukup besar
yang keluar dari semak-semak dekat pohon kasturi yang kami datangi
tersebut.
“ Ohh… biawak rupanya, “ ucap
Masrani yang berada paling depan dari yang lain.
“ Iyakah, ku kira apa tadi, “ ujarku dengan suara yang bergetar karena
terkejut.
Memang. Di sekitar pohon kasturi yang dimiliki keluargaku tersebut
lahannya penuh dengan rumpun batang banban yang tumbuh liar dengan subur dan rimbunya, sehingga menjadi tempat
persembunyian yang cukup aman bagi binatang liar, seperti biawak tadi. Tidak
jarang juga di rerimbunan tersebut terdapat sarang penyengat besar atau dalam
bahasa kami namanya tambuan.
“ Nang,dengan siapa kamu datang, “ sapa ayahku yang sedang
bersih-bersih lahan tanah milik keluarga saat
aku dan kawan-kawan sampai di bawah pohon kasturi tersebut.
“ Ulun datang dengan
kawan-kawan,yah, “jawabku.
Rupanya ayahku sudah lebih dulu membersihkan lahan yang adadi bawah dan
sekitar pohon kasturi, sehingga saat aku dan kawan-kawan datang sudah sebagian
besar lahannya bersih. Ayahku juga memberikan beberapa biji buah kasturi yang
beliau dapatkan untuk kami makan bersama.
“ Kawan-kawan,mau buah kasturi kah,”ujarku dengan kawan-kawan.
“ Mau, Lan, “ jawab kawan-kawan hampir serentak.
Aku dan kawan-kawan memilih buah kasturi yang diberikan oleh ayahku.
Masing-masing mengambil dua biji yang
buahnya sudah matang dan cukup besar. Ada yang mengupas pakai parang , tetapi ada juga kawan yang
menggigitnya langsung tanpa dikupas kulitnya. Aku dan Aswan mengupas pakai parang,
sedangkan Masrani dan Syaifudin
langsung digigitnya.
“Manis kah Din kasturinya, “
ujarku dengan Syaifudin yang sedang menggigit buah kasturinya.
“Iya, Lan. Manis sekali, coba
nanti kalau kamu sudah memakannya, “ jawab Syaifudin yang semakin asyik
menggigit buah kasturinya.
Ya. Aku dan Asawan masih berupaya mengupas kulit buah kasturi,
sehingga masih belum merasakan enak dan
manisnya buah kasturi yang lama
ditunggu-tunggu kehadirannya, karena buahnya hanya setahun sekali. Sedangkan
yang menggigit buah kasturi dapat langsung merasakan enak dan manisnya buah
kasturi yang banyak mengandung serat tersebut.
“ Lan, sekarang apa yang kita kerjakan, “ tanya Masrani denganku
setelah kami selesai makan buah kasturi.
“ Bagaimana kalau buat lalampauan
untuk tempat menunggu buah kasturi jatuh dan beristirahat, “ jawabku.
“ Benar, Lan. Kita buat lalampauan
saja, lagi pula lahan sekitar bawah pohon kasturinya sudah cukup bersih,
jadi tinggal lalampauannya saja, “
ujar Aswan menambahi jawabanku.
Kami pun bersiap-siap mencari
bahan yang ada di sekitar pohon kasturi untuk dijadikan lalampauan yang berada di bawah pohon kasturi tersebut. Lalampauan merupakan sejenis gubuk kecil yang berukuran
lebar dan panjang sekitar dua meter ,
dan tinggi sekitar satu meter berbentuk panggung. Jarak lantainya dari tanah
sekitar 30-40 cm. Atap dan dindingnya terbuat dari daun kelapa, sedangkan
lantainya dari bilah bambu atau kayu galam
yang disusun sedemikian rupa, kemudian di atas lantai tersebut digelar tikar purun.
“ Lan, kemana arah depannya, “
tanya Aswan denganku yang sedang memasang tiang lalampauan tersebut bersama Masrani dan Syaifudin.
“ Mengarah ke timur, “ jawabku.
Kami membuat lalampauan
tersebut sesuai dengan selera dan keinginan kami bersama. Tanpa ada arahan atau
bimbingan orang lain, termasuk orang tua kami. Kami berkreasi sendiri sesuai
dengan selera dan keinginan, termasuk saat membuat lalampauan tersebut. Dalam
membuat lalampauan itu kami tidak
menggunakan paku, kami menggunakan tali dari batang banban yang banyak terdapat di sekitar pohon kasturi tersebut.
Aswan bertugas mencari dan mengolah batang banban sebagai tali temali dalam
pembuatan lalampauan itu.
“ Wan,sudah selesaikah membuat tali dari banbanya,”tanya Masrani dengan Aswan.
“ Sudah,Ran. Sebentar akan aku
bawakan ke sana, “ jawab Aswan.
Masrani merupakan kawan kami yang memiliki bakat dalam bertukang, sebab
ayahnya merupakan salah satu tukang membuat
rumah masyarakat di kampung kami.
Ayahnya dikenal sebagai tukang pembuat rumah.
Nama beliau Bukhari, dan aku memanggilnya dengan sebutan Kai Bukhari. Masrani dapat dikatakan sebagai anak yang mewarisi keahlian ayahnya sebagai
tukang rumah, sehingga ketika kami membuat lalampauan
tersebut, maka Masrani menjadi arsiteknya.
“ Lan, ambilkan parang, aku mau ada yang dipotong, “ ujar Masrani denganku.
“ Iya,Ran. Aku ambilkan, tunggu sebentar, “ jawabku sambil berjalan
mengambil parang yang aku letakkan sebelumnya dekat pohon kasturi….
****
Post a Comment for "Cerpen Kami Anak Sungai : Bagian 24. Musim ‘Manjatu’ Buah Kasturi (2)"