Cerpen Kami Anak Sungai : Bagian 19. Bermain Perang-perangan (2)


Menjelang Magrib, aku dan kawan-kawan masih membuat sendiri sanapan dari batang banban untuk digunakan dalam permainan perang-perangan besok hari Minggu dengan kelompok Tajudin,dan kawan-kawannya. Tajudin adalah kawan kami di sekolah dasar, rumahnya cukup jauh dari aku, kami biasa menyebutnya di ujung  kampung. Kelompok Tajudin ini terdiri dari Marhasan, Syahrani, dan Kamarudin.
“ Lan, bagaimana sanapannya, sudah selesaikah, “ tanya Aswan denganku.
“ Sudah, Wan, punya kamu bagaimana, “ ujarku seraya menanyakan pekerjaan Aswan.
“ Beres, Lan, tinggal mengikat karetnya saja, “ Aswan menjawab pertanyaanku.
“ Aku, sudah selesai juga Lan, “ ujar Syaifudin.
“ Punyaku, tinggal sedikit lagi,” ujar Masrani menyahut.


Sebelum Magrib tiba perkerjaan kami membuat sanapan dari batang banban selesai, dan selanjutnya kami pulang ke rumah masing-masing.  Hari semakin gelap, dan malam pun menyelimuti kampung kami yang tenang dan nyaman.  Seusai Isya aku bersiap-siap untuk tidur. Kalambu sudah ku pasang, tanda sebentar lagi aku akan tidur malam itu. Meski malam itu merupakan malam Minggu, namun bagi kami anak kampung tidak mengenal istilah malam Mingguan, semua malam itu sama. Tidak lama kemudian aku pun masuk kalambu untuk tidur.
Menjelang Subuh aku sudah terbangun. Udara dingin terasa menusuk jauh ke dalam tubuhku. Ku paksakan bangun pagi-pagi untuk dapat menyiapkan sesuatunya menjelang siang datang. Ibuku sudah lama bangun dan mengolah sesuatu di dapur. Beliau sudah biasa bangun dan beraktivitas pagi-pagi sebelum semua penghuni rumah bangun, sehingga ketika kami mau beraktivitas pagi hari maka hidangan makanan dan minuman sudah siap tersedia di dapur.
Pagi itu cerah. Sinar matahari menembus dedaunan dan masuk ke rumahku yang menghadap ke Timur. Ya, memang rumahku persis menghadap kea rah matahari terbit, sehingga ketika matahari pada pagi memancarkan cahayanya, maka cahaya matahari itu langsung masuk ke rumahku yang berada di tepian Sungai Martapura, baik melalui pintu maupun jendela rumahku yang ada di depan.
Hari masih pagi ketika kawan-kawanku datang mengajak untuk bermain perang-perangan hari ini. Masrani, kawanku yang terdekat lebih awal datang, kemudian disusul Syaifudin dan Aswan Rupanya mereka sudah siap dengan membawa senjata sanapan banban dan peluru sesuai dengan kesepakatan pada kemarin sore.
  Lan, ayo kita siap-siap berangkat, “ ujar Udin ketika sampai ke rumahku.
“ Iya Lan, aku sudah siap juga, “ kata Aswan pula.
“ Ya, aku ke belakang dulu mengambil sanapanku , “ kataku dengan kawan –kawan yang sudah berada di teras rumahku.
Setelah aku mengambil sanapan banban yang ada di tempat penyimpanannya, maka kami berempat segera berjalan menuju tempat pertemuan dengan kelompok Tajudin dan kawan-kawannya di tabat Sungai Tabuk.  Tempat pertemuan kami tersebut merupakan tempat favorit kami bermain selama ini, terutama ketika masa musim buah kasturi di kampung kami. Tabat itu adalah semacam pengatur aliran air  yang berada di Sungai Tabuk, sungai kecil yang menjadi sumber air bagi pengairan sawah di kampung kami. Dekat tabat Sungai Tabuk itu ada pohon kasturi yang cukup besar.

Tidak berapa kami berjalan akhirnya sampai di tempat tujuan. Sinar matahari pagi menjelang siang  itu terlindung oleh daun pohon kasturi yang besar dan rimbun.  Sesampai di tabat Sungai tabuk tersebut sudah menunggu kelompok Tajudin. Ada Marhasan, Syahrani, dan Kamarudin. Biasanya kami menyebut nama kawan-kawan dengan nama kecil atau pendeknya, seperti Tajudin dipanggil Judin, Marhasan dipanggil Mar, Syakhrani dipanggil Rani, dan Kamarudin dipanggil Kama.
“ Judin, apa bisa dimulai main perang-perangnya,” ujarku dengan Tajudin.
“ Bisa, Lan. Kami sudah siap juga, iyakan Mar, “ kata Tajudin dengan Marhasan.
“ Iya, Lan, “ ujar Marhasan.
 Ayo kawan-kawan kita bersiap, “ ujarku dengan kawan-kawan yang sudah siap bermain perang-perangan siang itu.
“ Judin, kelompokmu berada di seberang, dan kelompok kami di sini, bagaimana, “ ujarku dengan Tajudin
 Ya. Lebar tabat Sungai Tabuk itu sekitar 3 meter, di bagian tengahnya ada jembatan yang lebarnya sekitar 1,5  meter dengan letaknya lebih tinggi dari sisi seberang menyeberangnya, sedangkan seberang menyeberangnya lebih rendah, sehingga cukup ideal untuk perang-perangan dengan senjata dan peluru batang banban.
“ Setuju, Lan, “ kata Tajudin mewakilik kawan-kawannya.
Setelah terjadi kesepakatan dalam pelaksanaan permainan perang-perangan menggunakan sanapan dan peluru yang terbuat dari batang banban, kami pun menempati posisi yang sudah disepakati.  Mulailah permainan perang-perangan ala anak sungai di tabat Sungai Tabuk. Satu per satu peluru dari batang  banban yang dipotong-potong beterbangan di udara menuju sasarannya. Peluru dari potongan batang banban itu arahnya tidak jelas, hanya berhamburan tak mengenai sasaran, baik pihak kawan-kawanku maupun kelompok Tajudin.
Tidak ada yang kena peluru batang banban sakit apalagi sampai cedara, meski jaraknya tembak menembaknya cukup dekat, karena kecepatan pelurunya sangat lambat. Jika ada persediaan pelurunya sudah habis, maka dapat mencari atau mengambil bekas peluru musuh yang ditembakkan kepada kami, sehingga kami saling memakai peluru dari kelompok lawan. Tidak terasa hari semakin siang, meski di tabat Sungai Tabuk tersebut masih terasa dingin dan sejuk karena sinar matahari terlindung oleh daun pohon kasturi. Permainan perang-perangan menjadi hiburan yang mengasyikkan kami anak-anak kampung.
“ Bagaimana kawan-kawan kita sudah saja permainan ini, “ ujarku dengan kelompok Tajudin di seberang sana.
“ Iya, Lan, kami juga sudah lelah tiarap di sini, “ balas Tajudin di seberang tabat sana.
Kami berdiri bersama sambil saling bersalaman dan menyapa tanda tidak ada lagi saling berlawanan, karena kami hanya bermain-main saja untuk menghibur dan mengisi waktu yang panjang di kampung kami yang nyaman dan tenang. Kami pun kembali ke rumah masing-masing untuk berkumpul lagi dengan keluarga di rumah, dan tentunya juga mengisi perut yang sudah lapar dengan menyantap masakan ibu-ibu kami di rumah.
****





Post a Comment for "Cerpen Kami Anak Sungai : Bagian 19. Bermain Perang-perangan (2)"