Menjelang Magrib, aku dan kawan-kawan masih membuat sendiri sanapan
dari batang banban untuk digunakan
dalam permainan perang-perangan besok hari Minggu dengan kelompok Tajudin,dan
kawan-kawannya. Tajudin adalah kawan kami di sekolah dasar, rumahnya cukup jauh
dari aku, kami biasa menyebutnya di ujung
kampung. Kelompok Tajudin ini terdiri dari Marhasan, Syahrani, dan
Kamarudin.
“ Lan, bagaimana sanapannya, sudah selesaikah, “ tanya Aswan denganku.
“ Sudah, Wan, punya kamu bagaimana, “ ujarku seraya menanyakan
pekerjaan Aswan.
“ Beres, Lan, tinggal mengikat karetnya saja, “ Aswan menjawab
pertanyaanku.
“ Aku, sudah selesai juga Lan, “ ujar Syaifudin.
“ Punyaku, tinggal sedikit lagi,” ujar Masrani menyahut.
Sebelum Magrib tiba perkerjaan kami membuat sanapan dari batang banban selesai, dan selanjutnya kami
pulang ke rumah masing-masing. Hari
semakin gelap, dan malam pun menyelimuti kampung kami yang tenang dan
nyaman. Seusai Isya aku bersiap-siap
untuk tidur. Kalambu sudah ku pasang, tanda sebentar lagi aku akan tidur malam
itu. Meski malam itu merupakan malam Minggu, namun bagi kami anak kampung tidak
mengenal istilah malam Mingguan, semua malam itu sama. Tidak lama kemudian aku
pun masuk kalambu untuk tidur.
Menjelang Subuh aku sudah terbangun. Udara dingin terasa menusuk jauh ke
dalam tubuhku. Ku paksakan bangun pagi-pagi untuk dapat menyiapkan sesuatunya
menjelang siang datang. Ibuku sudah lama bangun dan mengolah sesuatu di dapur.
Beliau sudah biasa bangun dan beraktivitas pagi-pagi sebelum semua penghuni
rumah bangun, sehingga ketika kami mau beraktivitas pagi hari maka hidangan
makanan dan minuman sudah siap tersedia di dapur.
Pagi itu cerah. Sinar matahari menembus dedaunan dan masuk ke rumahku
yang menghadap ke Timur. Ya, memang rumahku persis menghadap kea rah matahari
terbit, sehingga ketika matahari pada pagi memancarkan cahayanya, maka cahaya
matahari itu langsung masuk ke rumahku yang berada di tepian Sungai Martapura,
baik melalui pintu maupun jendela rumahku yang ada di depan.
Hari masih pagi ketika kawan-kawanku datang mengajak untuk bermain perang-perangan
hari ini. Masrani, kawanku yang terdekat lebih awal datang, kemudian disusul
Syaifudin dan Aswan Rupanya mereka sudah siap dengan membawa senjata sanapan banban dan peluru sesuai dengan
kesepakatan pada kemarin sore.
“ Lan, ayo kita siap-siap
berangkat, “ ujar Udin ketika sampai ke rumahku.
“ Iya Lan, aku sudah siap juga, “ kata Aswan pula.
“ Ya, aku ke belakang dulu mengambil sanapanku , “ kataku dengan kawan –kawan
yang sudah berada di teras rumahku.
Setelah aku mengambil sanapan banban
yang ada di tempat penyimpanannya, maka kami berempat segera berjalan menuju
tempat pertemuan dengan kelompok Tajudin dan kawan-kawannya di tabat Sungai Tabuk. Tempat pertemuan kami tersebut merupakan
tempat favorit kami bermain selama ini, terutama ketika masa musim buah kasturi di kampung kami. Tabat itu
adalah semacam pengatur aliran air yang
berada di Sungai Tabuk, sungai kecil yang menjadi sumber air bagi pengairan
sawah di kampung kami. Dekat tabat
Sungai Tabuk itu ada pohon kasturi
yang cukup besar.
Tidak berapa kami berjalan akhirnya sampai di tempat tujuan. Sinar
matahari pagi menjelang siang itu
terlindung oleh daun pohon kasturi yang besar dan rimbun. Sesampai di tabat Sungai tabuk tersebut sudah
menunggu kelompok Tajudin. Ada Marhasan, Syahrani, dan Kamarudin. Biasanya kami
menyebut nama kawan-kawan dengan nama kecil atau pendeknya, seperti Tajudin
dipanggil Judin, Marhasan dipanggil Mar, Syakhrani dipanggil Rani, dan
Kamarudin dipanggil Kama.
“ Judin, apa bisa dimulai main perang-perangnya,” ujarku dengan
Tajudin.
“ Bisa, Lan. Kami sudah siap juga, iyakan Mar, “ kata Tajudin dengan
Marhasan.
“ Iya, Lan, “ ujar Marhasan.
“ Ayo kawan-kawan kita bersiap, “
ujarku dengan kawan-kawan yang sudah siap bermain perang-perangan siang itu.
“ Judin, kelompokmu berada di seberang, dan kelompok kami di sini, bagaimana,
“ ujarku dengan Tajudin
Ya. Lebar tabat Sungai Tabuk itu
sekitar 3 meter, di bagian tengahnya ada jembatan yang lebarnya sekitar 1,5 meter dengan letaknya lebih tinggi dari sisi
seberang menyeberangnya, sedangkan seberang menyeberangnya lebih rendah, sehingga
cukup ideal untuk perang-perangan dengan senjata dan peluru batang banban.
“ Setuju, Lan, “ kata Tajudin mewakilik kawan-kawannya.
Setelah terjadi kesepakatan dalam pelaksanaan permainan perang-perangan
menggunakan sanapan dan peluru yang terbuat dari batang banban, kami pun menempati posisi yang sudah disepakati. Mulailah permainan perang-perangan ala anak
sungai di tabat Sungai Tabuk. Satu per satu peluru dari batang banban yang
dipotong-potong beterbangan di udara menuju sasarannya. Peluru dari potongan
batang banban itu arahnya tidak
jelas, hanya berhamburan tak mengenai sasaran, baik pihak kawan-kawanku maupun
kelompok Tajudin.
Tidak ada yang kena peluru batang banban sakit apalagi sampai cedara,
meski jaraknya tembak menembaknya cukup dekat, karena kecepatan pelurunya
sangat lambat. Jika ada persediaan pelurunya sudah habis, maka dapat mencari
atau mengambil bekas peluru musuh yang ditembakkan kepada kami, sehingga kami
saling memakai peluru dari kelompok lawan. Tidak terasa hari semakin siang,
meski di tabat Sungai Tabuk tersebut masih terasa dingin dan sejuk karena sinar
matahari terlindung oleh daun pohon kasturi. Permainan perang-perangan menjadi
hiburan yang mengasyikkan kami anak-anak kampung.
“ Bagaimana kawan-kawan kita sudah saja permainan ini, “ ujarku dengan
kelompok Tajudin di seberang sana.
“ Iya, Lan, kami juga sudah lelah tiarap di sini, “ balas Tajudin di
seberang tabat sana.
Kami berdiri bersama sambil saling bersalaman dan menyapa tanda tidak
ada lagi saling berlawanan, karena kami hanya bermain-main saja untuk menghibur
dan mengisi waktu yang panjang di kampung kami yang nyaman dan tenang. Kami pun
kembali ke rumah masing-masing untuk berkumpul lagi dengan keluarga di rumah,
dan tentunya juga mengisi perut yang sudah lapar dengan menyantap masakan
ibu-ibu kami di rumah.
****
Post a Comment for "Cerpen Kami Anak Sungai : Bagian 19. Bermain Perang-perangan (2)"