Cerpen Kami Anak Sungai : Bagian 25. Musim ‘Manjatu’ Buah Kasturi (3. Habis)


Masrani merupakan kawan kami yang memiliki bakat dalam bertukang, sebab ayahnya merupakan salah satu tukang membuat  rumah masyarakat  di kampung kami. Ayahnya dikenal sebagai tukang pembuat rumah.  Nama beliau Bukhari, dan aku memanggilnya  dengan sebutan Kai Bukhari. Masrani dapat dikatakan sebagai  anak yang mewarisi keahlian ayahnya sebagai tukang rumah, sehingga ketika kami membuat lalampauan tersebut, maka Masrani menjadi arsiteknya.
“ Lan, ambilkan parang, aku mau ada yang dipotong, “ ujar Masrani denganku.
“ Iya,Ran. Aku ambilkan, tunggu sebentar, “ jawabku sambil berjalan mengambil parang yang aku letakkan sebelumnya dekat pohon kasturi.


Masrani menjadi arsitek dalam pembuatan lalampauan yang berdiri di bawah pohon kasturi. Tidak ada gambar atau maket yang menjadi dasar pembuatan lalampauan itu, hanya mengandalkan perasaan semata.
“ Lan, sekarang kita pasang atapnya, “ ujar Masrani.
“ Ya, Ran, atapnya sudah siap, “ jawabku.
Tidak berapa kemudian Aswan dan Syaifudin mengangkat daun kelapa yang diambil dari pohon kelapa milik ayahku.  Semua sudah disiapkan oleh Aswan dan Syaifudin, sehingga setelah kerangka lalampauan  selesai, maka tinggal memasang bagian atapnya saja.
“ Ran, ini atapnya, “ ujar Aswan sambil  membawa daun kelapa.
“ Iya, Wan. Letakkan di situ, “ kata Masrani sambil menunjuk ke lantai lalampauan.
Tidak sampai satu jam bangunan lalampauan  untuk tempat menunggu dan beristirahat ketika menjaga jatuh buah kasturi sudah selesai. Hasil yang menurut kami sudah cukup baik dan mampu diisi oleh anak-anak maupun orang dewasa. Saat mencoba duduk di lalampauan yang baru selesai kami buat, terdengar suara benda  yang jatuh dari atas pohon kasturi.
  Lan, sepertinya ada buah kasturi yang jatuh, “ ujar Masrani dengan yang berdiri di depan lalampauan.
  Kedengarannya sebelah mana Ran, “ ujarku dengan Masrani
“ Sebelah timur, coba kamu cari, “ ujar Masrani menjelaskan.
Meski belum semua buah kasturi matang, ada diantaranya yang lebih dulu matang dan jatuh saat ada angina yang cukup kencang. Ada beberapa biji buah kasturi yang  jatuh saat kami beberapa jam di bawah pohon kasturi milik bersama keluargaku tersebut.  Setelah terkumpul cukup banyak buah kasturi yang jatuh, maka kami bersama-sama mengupas dan memakan buah kasturi yang kami dapatkan.
“ Ran, bagaimana sekarang, apakah kita pulang, “ tanyaku dengan Masrani yang sedang rebahan di lalampauan.
“ Nanti dulu Lan, aku mau istirahat dulu, enak di sini, “ jawab Masrani  sambil terus rebahan.
“ Baiklah, kita nanti saja pulang, sambil menunggu buah kasturi jatuh, bagaimana Din “ ucapku lagi dengan Syaifudin yang masih asyik menggigit buah kasturi yang baru didapatkannya.
“ Aku setuju saja, Lan. Kita santai dulu sambil menunggu buah kasturi jatuh lagi, “ jawab Syaifudin.
“ Bagaimana Wan, “ tanyaku dengan Aswan yang juga mulai ikut rebahan dengan Masrani.
“ Aku mau tidur dulu, “ jawab Aswan.
Ya. Ternyata kawan-kawanku belum mau pulang ke rumah, karena merasa enak dan nyaman di bawah pohon kasturi yang sudah dilengkapi dengan lalampauan , terlebih lagi hari semakin siang dan panas. Jika pulang saat siang yang cukup panas terik itu dapat membuat lelah, meski rumah kami di kampung tidak terlalu jauh, namun istirahat di bawah pohon kasturi.
Musim buah kasturi menjadi wahana baru bagi kami anak-anak kampung, karena sambil menunggu jatuhnya buah kasturi yang masak kami dapat pula bermain-main dengan kawan-kawan sebaya. Berbagai permainan yang  dapat lakukan saat menunggu jatuhnya buah kasturi, bagi anak-anak laki-laki biasanya bermain sepakbola, sedangka  anak-anak perempuan bermain tali, baasinan, dan lain-lain. Udara yang sejuk, dingin, dan teduh di bawah pohon kasturi membuat nyaman dan menyenangkan bagi kami anak-anak kampung berada di bawah pohon tersebut.
Manjatu buah kasturi tidak saja dilakukan pada pagi, siang, dan sore hari, namun juga banyak dilakukan pada dini hari. Terlebih lagi pada saat buah kasturinya banyak yang sudah matang, saat malam dan dini hari banyak buah kasturi yang jatuh, sehingga bagi pemilik pohon kasturi yang buahnya lebat atau banyak mereka bermalam di bawah pohon kasturinya tersebut. Pada malam dan dinihari ada saja orang yang manjatu buah kasturi, terutama oleh orang dewasa secara bekelompok 4-5 orang  dengan penerangannya berupa obor atau sinter.
Setelah cukup lama berada di bawah pohon kasturi milik keluargaku di Sungai Tabuk, aku dan kawan-kawan menjelang sore bersiap-siap pulang, dan kebetulan pula sudah datang Acil Inah, adik ayahku yang paling bungsu. Acil merupakan sebutan orang Banjar terhadap adik ayah atau ibu yang artinya sama dengan bibi. Namanya lengkap Acil Inah adalah Nurainah.
Nang, sudah lama kah bersama kawan-kawanmu di sini, “ tanya Acil Inah denganku.  Dalam keluargaku, aku selalu dipanggil dengan ‘ nang’, yang merupakan asal katanya ‘ anang panggilan kesayakan dalam keluarga besarku.
Inggih, Cil. Kami mau pulang, “ jawabku.
“ Ya, silahkan kalian pulang, biar Acil yang ganti menunggu buah kasturinya, “ kata Acil Inah.
Kami pun segera pulang dengan membawa beberapa biji buah kasturi masak yang kai dapatkan dari manjatu buah kasturi selama lebih dari setengah hari, bahkan sampai tertidur di alampauan  buatan kami sendiri. Sambil pulang kami bercanda dan bernyanyi dengan penuh riang gembira, dan tidak terasa kami sudah di kampung.  Masing-masing kami menuju rumah masing-masing dengan membawa pulang buah kasturi hasil manjatu hari ini.
****


Post a Comment for "Cerpen Kami Anak Sungai : Bagian 25. Musim ‘Manjatu’ Buah Kasturi (3. Habis)"