Masrani merupakan kawan kami yang memiliki bakat dalam bertukang, sebab
ayahnya merupakan salah satu tukang membuat
rumah masyarakat di kampung kami.
Ayahnya dikenal sebagai tukang pembuat rumah.
Nama beliau Bukhari, dan aku memanggilnya dengan sebutan Kai Bukhari. Masrani dapat dikatakan sebagai anak yang mewarisi keahlian ayahnya sebagai
tukang rumah, sehingga ketika kami membuat lalampauan
tersebut, maka Masrani menjadi arsiteknya.
“ Lan, ambilkan parang, aku mau ada yang dipotong, “ ujar Masrani
denganku.
“ Iya,Ran. Aku ambilkan, tunggu sebentar, “ jawabku sambil berjalan
mengambil parang yang aku letakkan sebelumnya dekat pohon kasturi.
Masrani menjadi arsitek dalam pembuatan lalampauan yang berdiri di bawah pohon kasturi. Tidak ada gambar
atau maket yang menjadi dasar pembuatan lalampauan
itu, hanya mengandalkan perasaan semata.
“ Lan, sekarang kita pasang atapnya, “ ujar Masrani.
“ Ya, Ran, atapnya sudah siap, “ jawabku.
Tidak berapa kemudian Aswan dan Syaifudin mengangkat daun kelapa yang
diambil dari pohon kelapa milik ayahku.
Semua sudah disiapkan oleh Aswan dan Syaifudin, sehingga setelah
kerangka lalampauan selesai, maka tinggal memasang bagian atapnya
saja.
“ Ran, ini atapnya, “ ujar Aswan sambil
membawa daun kelapa.
“ Iya, Wan. Letakkan di situ, “ kata Masrani sambil menunjuk ke lantai lalampauan.
Tidak sampai satu jam bangunan lalampauan untuk tempat menunggu dan beristirahat ketika
menjaga jatuh buah kasturi sudah selesai. Hasil yang menurut kami sudah cukup
baik dan mampu diisi oleh anak-anak maupun orang dewasa. Saat mencoba duduk di lalampauan yang baru selesai kami buat,
terdengar suara benda yang jatuh dari
atas pohon kasturi.
“ Lan, sepertinya ada buah
kasturi yang jatuh, “ ujar Masrani dengan yang berdiri di depan lalampauan.
“ Kedengarannya sebelah mana Ran, “ ujarku
dengan Masrani
“ Sebelah timur, coba kamu cari, “ ujar Masrani menjelaskan.
Meski belum semua buah kasturi matang, ada diantaranya yang lebih dulu
matang dan jatuh saat ada angina yang cukup kencang. Ada beberapa biji buah
kasturi yang jatuh saat kami beberapa
jam di bawah pohon kasturi milik bersama keluargaku tersebut. Setelah terkumpul cukup banyak buah kasturi
yang jatuh, maka kami bersama-sama mengupas dan memakan buah kasturi yang kami
dapatkan.
“ Ran, bagaimana sekarang, apakah kita pulang, “ tanyaku dengan Masrani
yang sedang rebahan di lalampauan.
“ Nanti dulu Lan, aku mau istirahat dulu, enak di sini, “ jawab
Masrani sambil terus rebahan.
“ Baiklah, kita nanti saja pulang, sambil menunggu buah kasturi jatuh, bagaimana
Din “ ucapku lagi dengan Syaifudin yang masih asyik menggigit buah kasturi yang
baru didapatkannya.
“ Aku setuju saja, Lan. Kita santai dulu sambil menunggu buah kasturi
jatuh lagi, “ jawab Syaifudin.
“ Bagaimana Wan, “ tanyaku dengan Aswan yang juga mulai ikut rebahan
dengan Masrani.
“ Aku mau tidur dulu, “ jawab Aswan.
Ya. Ternyata kawan-kawanku belum mau pulang ke rumah, karena merasa
enak dan nyaman di bawah pohon kasturi yang sudah dilengkapi dengan lalampauan , terlebih lagi hari semakin
siang dan panas. Jika pulang saat siang yang cukup panas terik itu dapat
membuat lelah, meski rumah kami di kampung tidak terlalu jauh, namun istirahat
di bawah pohon kasturi.
Musim buah kasturi menjadi wahana baru bagi kami anak-anak kampung,
karena sambil menunggu jatuhnya buah kasturi yang masak kami dapat pula
bermain-main dengan kawan-kawan sebaya. Berbagai permainan yang dapat lakukan saat menunggu jatuhnya buah
kasturi, bagi anak-anak laki-laki biasanya bermain sepakbola, sedangka anak-anak perempuan bermain tali, baasinan, dan lain-lain. Udara yang
sejuk, dingin, dan teduh di bawah pohon kasturi membuat nyaman dan menyenangkan
bagi kami anak-anak kampung berada di bawah pohon tersebut.
Manjatu buah kasturi tidak saja
dilakukan pada pagi, siang, dan sore hari, namun juga banyak dilakukan pada
dini hari. Terlebih lagi pada saat buah kasturinya banyak yang sudah matang,
saat malam dan dini hari banyak buah kasturi yang jatuh, sehingga bagi pemilik
pohon kasturi yang buahnya lebat atau banyak mereka bermalam di bawah pohon
kasturinya tersebut. Pada malam dan dinihari ada saja orang yang manjatu buah kasturi, terutama oleh
orang dewasa secara bekelompok 4-5 orang
dengan penerangannya berupa obor atau sinter.
Setelah cukup lama berada di bawah pohon kasturi milik keluargaku di
Sungai Tabuk, aku dan kawan-kawan menjelang sore bersiap-siap pulang, dan
kebetulan pula sudah datang Acil Inah,
adik ayahku yang paling bungsu. Acil merupakan sebutan orang Banjar terhadap adik
ayah atau ibu yang artinya sama dengan bibi. Namanya lengkap Acil Inah adalah Nurainah.
“ Nang, sudah lama kah
bersama kawan-kawanmu di sini, “ tanya Acil Inah denganku. Dalam keluargaku, aku selalu dipanggil dengan ‘
nang’, yang merupakan asal katanya ‘ anang’ panggilan kesayakan dalam keluarga besarku.
“ Inggih, Cil. Kami mau
pulang, “ jawabku.
“ Ya, silahkan kalian pulang, biar Acil yang ganti menunggu buah
kasturinya, “ kata Acil Inah.
Kami pun segera pulang dengan membawa beberapa biji buah kasturi masak
yang kai dapatkan dari manjatu buah
kasturi selama lebih dari setengah hari, bahkan sampai tertidur di alampauan buatan kami sendiri. Sambil pulang kami
bercanda dan bernyanyi dengan penuh riang gembira, dan tidak terasa kami sudah
di kampung. Masing-masing kami menuju
rumah masing-masing dengan membawa pulang buah kasturi hasil manjatu hari ini.
****
Post a Comment for "Cerpen Kami Anak Sungai : Bagian 25. Musim ‘Manjatu’ Buah Kasturi (3. Habis)"