Siang itu, selepas pulang dari sekolah dasar yang ada di dekat rumah, aku
dan Syaifudin mencari tempurung kelapa di sekitar warung Acil Siti yang letaknya tidak jauh dari rumah kami berdua. Warung
Acil Siti ini biasanya menjual kelapa dalam bentuk yang sudah dikupas. Kami
memerlukan tempurung kelapa yang cukup lebar untuk dijadikan lugu. Bagi kami , lugu merupakan salah satu alat permainan tradisional mengisi waktu
bersama kawan-kawan di kampung.
“ Din, ayo kita ke warung Acil
Siti” ucapku ketika berada di halaman rumah Syaifudin.
“ Tunggu, Lan. Aku lagi ganti baju” ujar Syaifudin dari dalam rumahnya.
“ Ya, aku tunggu di sini” jawabku sambil menunggu di bawah pohon
belimbing
Tidak lama kemudian Syaifudin datang, dan kami pun segera menuju ke
warung Acil Siti yang jaraknya sekitar
100 meter dari rumah Syaifudin. Sesampai di warung Acil Siti kami langsung
bergerak mencari potongan tempurung kelapa di tempat pembuangan sampah dekat
warung tersebut. Warung Acil Siti ini
merupakan warung yang lumayan besar dan banyak dagangannya di kampung kami.
“ Din, aku dapat” ujarku dengan Syaifudin yang masih sibuk mencari
tempurung kelapa yang cocok untuk dibuat lugu.
“ iyakah “ jawab Syaifudin singkat.
“ Nah, aku dapat juga “ kata Syaifudin lagi.
“ Ayo, kita buat lugu” ucapku kembali.
Kami pun segera kembali ke rumah Syaifudin untuk membuat lugu. Aku mengambil parang yang sudah disiapkan dari rumah sebelumnya untuk mengukir
tempurung kelapa tersebut menjadi sebuah lugu
yang berbentuk segi lima, dengan ukuran selebar telapak tangan anak kecil. Kami
pun asyik dan sibuk mengukir tempurung kelapa yang telah didapatkan tadi untuk
menjadi lugu yang diinginkan.
“ Bagaimana, sudah selesai Din “ ujarku menyapa Syaifudin
“ Belum, Lan” jawab Syaifudin singkat
“ Lugu ku sudah hampir
selesai” balasku
“ Ya, lugu ku tinggal sedikit
lagi “ jawab Syaifudin
“ Aku mau cari bambu untuk bikin tongkat pelempar lugu “ kataku lagi
“ Ya, itu di samping rumahku ada bambu bekas bikin kandang ayam “ jawab
Syaifudin
Aku yang semula mau cari ke tempat lain, setelah mendengar jawaban
Syaifudin tersebut langsung mendatangi tempat yang dimaksud. Benar. Ada banyak
potongan bambu yang sudah dibelah-belah sisa
ayah Syaifudin yang membuat kandang ayam. Aku ambil potongan bambu
tersebut secukupnya untuk membuat tongkat pelempar lugu nantinya. Aku pilih potongan bambu yang lumayan tebal, karena
pelempar lugu harus kuat dan lentur saat digunakan.
“ Din, ini ku bawakan bambu untuk mau juga” kataku dengan Syaifudin
“ Ya, terima kasih Lan” jawab Syaifudin sambil membereskan pekerjaan
membuat lugu yang juga sudah selesai.
Kami pun kembali sibuk dan asyik membuat pelempar lugu yang terbuat
dari bambu pilihan untuk melengkapi persiapan kami bermain lugu nantinya. Kalau tidak ada pelempar tersebut, tentu permainan lugu tidak dapat berjalan sebagaimana
mestinya.
“ Lan, nanti kita ajak Aswan dan Masrani main balugu ya” ucap Syaifudin disela kami membuat pelempar lugu
“ Ya, kita main balugu di
halaman sekolah nanti sore ” jawabku sambil terus menghaluskan alat pelempar
lugu dengan sebilah parang.
Tidak berapa lama kemudian, selesailah usaha kami berdua membuat lugu
dan pelemparnya sebagai salah satu alat permainan kami anak kampung. Kami sudah
terbiasa membuat mainan sesuai dengan kemampuan dan keinginan sendiri, tidak
mengandalkan bantuan orangtua atau orang lain. Semampu kami membuatnya, tidak
ada juga yang menyalahkan atau menolak hasil karya tersebut. Hampir semua anak seusiaku
di kampung sudah mampu membuat mainannya sendiri, bukan saja lugu tetapi juga
layangan, ketapel, dan sebagainya.
****
Post a Comment for "Cerpen Kami Anak Sungai : Bagian 4. Membuat Lugu Sendiri"