Musim panen telah tiba. Sawah menguning sepanjang mata memandang di
hamparan persawahan kampung kami. Terlihat dari kejauhan segerombolan burung
pipit mengitari lahan persawahan yang sudah menguning. Mereka terbang tinggi,
lalu tidak lama kemudian menukik dan hinggap di pepohonan di pematang sawah.
Musim panen ini menjadi masa bersuka ria burung pipit, karena sumber bahan makanan melimpah
dimana-mana.
Sore itu, aku bersama dengan Masrani
menuju ke sawah orang tua kami. Kebetulan lahan sawah orang tua kami
berdekatan satu sama lain. Jarak dari rumah ke sawah yang kami tuju tidak
sampai satu kilometer. Sebelum mendapati sawah orang tua tersebut, kami
melewati jalan yang berada di bawah
pohon kasturi. Ada beberapa batang pohon kasturi besar yang umurnya mungkin
sudah cukup tua. Jauh lebih tua umur kami yang berusia 9 tahun..
“ Ran, kamu bawa katapel kah “ kataku dengan Masrani.
“ Ada “ jawab Masrani singkat
“ Batu kerikilnya untuk peluru sudah dibawa juga kah “ kataku lagi.
“ Iya, Lan, ini aku bawa banyak “ kata Masrani.
“ Baik, berarti kita masing-masing membawa katapel” kataku.
Sesampai di sawah, terlihat orang tua kami dibantu beberapa pekerja
sedang memetik padi yang sudah
menguning. Mereka menggunakan ranggaman,
alat petik padi tradisonal yang terbuat
dari kayu dan dibagian bawahnya dipasang sebelah silet yang tajam. Ranggaman
ini hanya dapat memotong satu tangkai
padi saja, sehingga perlu keahlian dan keterampilan khusus agar dapat
menghasilkan pemotongan tangkai padi yang banyak dalam waktu singkat.
“ Lan, ambilkan cupikan”
teriak salah satu pekerja memetik padi di sawah orang tua ku.
“ Ya, tunggu sebentar “ jawabku sambil mencari cupikan yang dimaksud.
Cupikan merupakan sebuah wadah
bulat yang berdiamter sekitar 50 cm dengan kedalaman sekitar 50-60 cm. Cupikan
ini terbuat dari rotan yang anyam sedemikian rupa, sehingga dapat berfungsi
sebagai wadah penampung padi yang sudah diketam atau dipotong. Dari hasil
potongan tangkai padi yang berada di tangan penuai padi, lalu dimasukkan ke
cupikan tersebut. Jika sudah penuh padi dalam cupikan tersebut lalu dimasukkan
ke dalam karung, atau ditumpuk pada suatu tempat khusus.
Seusai membantu sebentar pekerjaan orang tua, lalu aku dan Masrani
melanjutkan kegiatan yang sudah direncanakan sebelumnya, yaitu berburu burung pipit.
Kami berdua sudah menyiapkan katapel dan batu krikil yang akan menjadi peluru
dari katapel kami tersebut. Katapel yang bawa tersebut merupakan hasil karya
sendiri. Bahanya dari ranting pohon jambu atau sawo yang membentuk huruf ‘Y’,
sedangkan sedangkan karetnya beli di warung sesuai keperluan, dan tempat
meletakkan batu atau pelurunya dari bekas sepatu kulit atau ikat pinggang.
“ Ayo, Ran kita cari burung pipitnya “ ajakku dengan Masrani.
“ Mari, kita ke pinggir sawah sana” jawab Masrani sambil menunjukkan
tempat yang dituju.
“ O, ya, di dekat pohon kasturi itu kah” ujarku,
“ Iya “ jawab Masrani singkat.
Menjelang senja biasanya burung pipit mencari tempat untuk beristirahat
setelah seharian mencari makan. Pohon yang tidak jauh dari persawahan menjadi
tempat favorit segerombolan burung pipit berkumpul melepaskan lelah, bahkan
tidak jarang pula pohon tersebut menjadi koloni sarang burung pipit.
Benar. Setelah mendekati pohon kasturi yang sebagian rantinnya terlihat
mati, ada puluhan atau bahkan ratusan burung pipit berada di sana. Aku dan
Masrani mulai mengambil ancang-ancang untuk membidik salah satu burung pipit di
atas ranting sana. Ku ambil batu krikil
yang sudah disiapkan dan…plak, batu meluncur menembus udara menuju sasaran.
Namun, lesetan pertama katapel ku dan seterusnya hingga hamir habis batu krikil
yang disediakan tidak mengenai sasaran. Burung pipit pun terkejut dan akhirnya
beterbangan.
“ Aduhh..lepas semua “ keluhku.
“ Sama, aku juga tidak ada yang kena sasaran” jawab Masrani.
“ Ini batu krikilnya tinggal sebiji lagi” kataku lagi.
“ Persedian batu krikilku hampir habis juga Lan” jawab Masrani lagi.
“ Ayo, kita pulang saja, hari hampir Magrib” ajakku dengan Masrani.
“ Iya, mari kita pulang, orang yang kerja di sawah juga sudah mulai
pulang” balas Masrani.
Kami pun segera pulang ke rumah melewati tegalan sawah yang sudah
dipanen padinya, tidak melawati jalan saat berangkat tadi. Kami tidak berhasil
berburu burung pipit sore itu, mungkin burungnya pandai berkelit dari peluru
batu krikil yang dilemparkan, atau memang kami belum pandai membidik. Suatu
saat akan kami coba lagi.
****
Post a Comment for "Cerpen Kami Anak Sungai : Bagian 5. Berburu Burung Pipit"