Musim kemarau identik dengan masa peceklik. Tanaman tidak dapat tumbuh secara maksimal, bahkan terkadang tidak dapat tumbuh
sama sekali. Ikan di persawahan sudah
tidak ada lagi, termasuk di danau-danau yang menjadi tempat berkumpulnya ikan.
Semua kering kerontang. Kondisi demikian
sering dialami oleh masyarakat di
kampung kami dan kampung-kampung sekitarnya.
Satu-satunya sumber penghasil ikan hanya di perairan Sungai Martapura.
Kondisi air Sungai Martapura yang mengalami pasang surut sepanjang musim
kemarau banyak berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat yang berada di sekitarnya,
termasuk masyarakat di kampung kami. Meski terjadi pasang surut akibat kemarau
yang cukup panjang, namun air Sungai Martapura di sekitar kampung kami tidak
pernah asin akibat masuknya air laut saat pasang, tidak seperti di daerah sekitar Banjarmasin yang
terkadang air Sungai Martapura di sana menjadi asin atau payau.
Dibalik sebuah musibah, pasti ada hikmah. Bagitulah Tuhan Yang Maha
Kuasa mengatur kehidupan kita semua, tinggal
kita saja yang pandai-pandai bersyukur terhadap keadaan atau kondisi
yang kita alami. Dibalik kemarau yang panjang, hujan yang diharapkan membasahi
tak kunjung datang, masih banyak nikmat
Tuhan yang lain untuk umat-Nya.
Sore itu, aku bersama Syaifudin mau memancing ikan puyau dan
saluang. Pancing khusus untuk memancing ikan
puyau dan saluang sudah disiapkan, termasuk umpan yang tidak biasanya digunakan
untuk memancing ikan. Ikan puyau merupakan ikan yang banyak terdapat di
perarian Sungai Martapura. Warna ikannya putih mengkilau, perenang yang handal
dan cepat, serta dapat melompat cukup tinggi. Sementara itu, ikan saluwang juga
banyak terdapat di perairan Sungai Martapura. Badan ikan ini panjang,
tipis, dan langsing. Hidupnya suka
berkelompok.
“ Din, bagaimana sudah siap berangkat” kataku ketika bertamu ke
rumahnya.
“ Siap, Lan. Ini umpannya sudah ku siapkan juga” kata Syaifudin sambil
menunjukkan sebuah tempat yang berisi adonan gandum.
“ Dimana tempat kita memancing Din,” ujarku lagi.
“ Kita ke batang Kurdi di teluk sana “ujar Syaifudin menjawab
pertanyaanku.
“ Ya, di sana airnya jernih dan ada pusaran airnya ” jawabku.
Menurut kebiasaan saja, ketika ada pusaran air atau maulak menurut orang Banjar di kampung
kami, maka diperkirakan banyak ikan puyau dan saluang di sekitar itu, karena di
pusaran air tersebut banyak sumber makanan ikan tersebut. Kami berdua menuju
lokasi mincing yang berjarak sekitar 1 km dari rumah kami, arah ke hilir Sungai
Martapura. Lokasi mincing yang dituju tersebut berada di tikungan tajam sungai,
yang masyarakat kampung kami taluk atau teluk.
Sesampai di lokasi pemancingan ikan puyau dan saluang itu, kami pun
langsung memulai memasang pancing. Kawat pancing yang digunakan untuk memancing
ikan puyau dan saluang ini ukurannya yang paling kecil, karena menyesuaikan
dengan lebar mulut ikan yang dipancing tersebut. Sedangkan umpan memancing ikan
puyau dan saluang tersebut dibuat dari gandum yang dikentalkan, baik dari
gandum yang mentahnya maupun yang sudah jadi kue yang terbuat dari gandum.
Kemudian, pada tali pancing dipasang pelampung dari karet atau bahan
lainnya, sekitar satu jengkal jaraknya dari mata atau kawat pancing. Gunanya pelampung tersebut untuk memberikan
tanda apabila umpan sudah dimakan atau ditarik oleh ikan puyau atau saluang,
dan jika pelampung tergelang atau bergerak, maka harus segera ditarik
pancingnya.
“ Din, sudah berapa ekor dapat ikan puyaunya “ tanyaku dengan Syaifudin
yang ada di ujung batang.
“ Baru dapat 5 ekor puyau dan 2 ekor saluang “ jawab Syaifuddin.
“ Aku juga sudah dapat 6 ekor puyau, sedangkan saluang belum dapat”
jawabku..
“ Nah, ini ada lagi pancingku ditarik ikan “ teriak Syaifudin.
Sore menjelang senja semakin sering kami mendapatkan ikan puyau dan
saluang, hingga akhirnya persediaan umpan kami semakin menipis. Maklum saja,
umpan dari gandum tersebut mudah lepas ketika masuk air, sehingga umpannya
cepat habis sebelum mata pancingnya disambar ikan.
“ Bagaimana Din, apakah sudah cukup” ajakku dengan Syaifudin.
“ Ya, sudah cukup Lan, ayo kita pulang” ujar Syaifudin.
Hari sudah mulai mendekati senja, aku dan Syaifudin mulai membereskan
peralatan mincing, seperti ember tempat ikan dan pancing itu sendiri. Sore itu
kami cukup beruntung mendapatkan ikan puyau dan saluang yang cukup banyak
sebagai hasil memancing. Cukup untuk menambah lauk makan di rumah. Kami anak sungai tidak mudah berputus asa
dalam mencari rezeki, sungai memberikan banyak harapan bagi kami dalam mencari rezeki yang disediakan oleh
Tuhan Yang Maha Esa.
****
Post a Comment for "Cerpen Kami Anak Sungai : Bagian 10. Memancing Ikan Puyau dan Saluang"