Cerpen Kami Anak Sungai : Bagian 10. Memancing Ikan Puyau dan Saluang


Musim kemarau identik dengan masa peceklik. Tanaman tidak dapat tumbuh secara  maksimal, bahkan terkadang tidak dapat tumbuh sama sekali.  Ikan di persawahan sudah tidak ada lagi, termasuk di danau-danau yang menjadi tempat berkumpulnya ikan. Semua kering kerontang.  Kondisi demikian sering dialami oleh masyarakat  di kampung kami dan kampung-kampung sekitarnya.
Satu-satunya sumber penghasil ikan hanya di perairan Sungai Martapura. Kondisi air Sungai Martapura yang mengalami pasang surut sepanjang musim kemarau banyak berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat yang berada di sekitarnya, termasuk masyarakat di kampung kami. Meski terjadi pasang surut akibat kemarau yang cukup panjang, namun air Sungai Martapura di sekitar kampung kami tidak pernah asin akibat masuknya air laut saat pasang, tidak  seperti di daerah sekitar Banjarmasin yang terkadang air Sungai Martapura di sana menjadi asin atau payau.
Dibalik sebuah musibah, pasti ada hikmah. Bagitulah Tuhan Yang Maha Kuasa mengatur kehidupan kita semua, tinggal  kita saja yang pandai-pandai bersyukur terhadap keadaan atau kondisi yang kita alami. Dibalik kemarau yang panjang, hujan yang diharapkan membasahi tak  kunjung datang, masih banyak nikmat Tuhan yang lain untuk umat-Nya.

Sore itu, aku bersama Syaifudin mau memancing ikan puyau dan saluang.  Pancing khusus untuk memancing ikan puyau dan saluang sudah disiapkan, termasuk umpan yang tidak biasanya digunakan untuk memancing ikan. Ikan puyau merupakan ikan yang banyak terdapat di perarian Sungai Martapura. Warna ikannya putih mengkilau, perenang yang handal dan cepat, serta dapat melompat cukup tinggi. Sementara itu, ikan saluwang juga banyak terdapat di perairan Sungai Martapura. Badan ikan ini panjang, tipis,  dan langsing. Hidupnya suka berkelompok.
“ Din, bagaimana sudah siap berangkat” kataku ketika bertamu ke rumahnya.
“ Siap, Lan. Ini umpannya sudah ku siapkan juga” kata Syaifudin sambil menunjukkan sebuah tempat yang berisi adonan gandum.
“ Dimana tempat kita memancing Din,” ujarku lagi.
“ Kita ke batang Kurdi di teluk sana “ujar Syaifudin menjawab pertanyaanku.
“ Ya, di sana airnya jernih dan ada pusaran airnya  ” jawabku.
Menurut kebiasaan saja, ketika ada pusaran air atau maulak menurut orang Banjar di kampung kami, maka diperkirakan banyak ikan puyau dan saluang di sekitar itu, karena di pusaran air tersebut banyak sumber makanan ikan tersebut. Kami berdua menuju lokasi mincing yang berjarak sekitar 1 km dari rumah kami, arah ke hilir Sungai Martapura. Lokasi mincing yang dituju tersebut berada di tikungan tajam sungai, yang masyarakat kampung kami taluk atau teluk.
Sesampai di lokasi pemancingan ikan puyau dan saluang itu, kami pun langsung memulai memasang pancing. Kawat pancing yang digunakan untuk memancing ikan puyau dan saluang ini ukurannya yang paling kecil, karena menyesuaikan dengan lebar mulut ikan yang dipancing tersebut. Sedangkan umpan memancing ikan puyau dan saluang tersebut dibuat dari gandum yang dikentalkan, baik dari gandum yang mentahnya maupun yang sudah jadi kue yang terbuat dari gandum.
Kemudian, pada tali pancing dipasang pelampung dari karet atau bahan lainnya, sekitar satu jengkal jaraknya dari mata atau kawat pancing.  Gunanya pelampung tersebut untuk memberikan tanda apabila umpan sudah dimakan atau ditarik oleh ikan puyau atau saluang, dan jika pelampung tergelang atau bergerak, maka harus segera ditarik pancingnya.
“ Din, sudah berapa ekor dapat ikan puyaunya “ tanyaku dengan Syaifudin yang ada di ujung batang.
“ Baru dapat 5 ekor puyau dan 2 ekor saluang “ jawab Syaifuddin.
“ Aku juga sudah dapat 6 ekor puyau, sedangkan saluang belum dapat” jawabku..
“ Nah, ini ada lagi pancingku ditarik ikan “ teriak Syaifudin.
Sore menjelang senja semakin sering kami mendapatkan ikan puyau dan saluang, hingga akhirnya persediaan umpan kami semakin menipis. Maklum saja, umpan dari gandum tersebut mudah lepas ketika masuk air, sehingga umpannya cepat habis sebelum mata pancingnya disambar ikan.
“ Bagaimana Din, apakah sudah cukup” ajakku dengan Syaifudin.
“ Ya, sudah cukup Lan, ayo kita pulang” ujar Syaifudin.
Hari sudah mulai mendekati senja, aku dan Syaifudin mulai membereskan peralatan mincing, seperti ember tempat ikan dan pancing itu sendiri. Sore itu kami cukup beruntung mendapatkan ikan puyau dan saluang yang cukup banyak sebagai hasil memancing. Cukup untuk menambah lauk makan di rumah.  Kami anak sungai tidak mudah berputus asa dalam mencari rezeki, sungai memberikan banyak harapan bagi kami  dalam mencari rezeki yang disediakan oleh Tuhan Yang Maha Esa.
****

Post a Comment for "Cerpen Kami Anak Sungai : Bagian 10. Memancing Ikan Puyau dan Saluang"