Cerpen Kami Anak Sungai : Bagian 21. Mencari Ikan ke Sungai Abulung (3)


Tidak terasa hari semakin siang. Sementara itu air Sungai  Abulung mulai pasang dan makin naik atau dalam. Ikan yang semula banyak berkumpul di tempat persembunyiannya mulai menyebar mencari tempat lain atau makanannya, sehingga hasil tangkapan pun makin sedikit.  Sinar matahari mulai menyengat badan kami yang berada di sungai, maka sudah saatnya kami harus menyudahi kegiatan mencari ikan siang itu.
“ Bagaimana kawan-kawan kita cukupkan dulu cari ikannya hari ini, “ ujarku mengajak kawan-kawan yang sudah mulai kedinginan.
“ Benar Lan, kita siap-siap pulang, karena hari sudah siang, “ kata Masrani menanggapi usulanku.
“ Iya, aku sudah kedinginan juga, tambah lagi  perut sudah lapar, “ ujar Aswan menambahkan.
“ Ayo, kita berhenti  cari ikan dan mari pulang ke rumah, “ tambah Syaifudin.


Kami membereskan semua peralatan dan ikan hasil tangkapan kami sebelum bergerak pulang menulusuri Sungai Abulung. Ikan hasil tangkapan kami sebagian dimasukkan ke dalam keranjang, seperti ikan haruan, papuyu, dan ikan besar lainnya. Sedangkan ikan kecil-kecil, seperti papuyu, puyau, saluang, dan sebagainya dimasukkan dalam kolong-kolong  jukung kami.  Cukup banyak ikan yang kami dapat dalam pertualangan pagi Ahad itu. Sesudah semuanya dibereskan,  maka segera kami menaiki jukung dan berangkat pulang ke rumah kami.
“ Lan, aku yang mengayuh di buritan jukung, “ ujar Aswan yang menjadi pendayung jukung pada bagian buritan sekaligus juru mudinya.
“ Iya, aku mendayung di depan saja, nanti aku gantian dengan Syaifudin dan kamu dengan Masrani, bagaimana setujukah kawan-kawan, “ ujarku lagi.
“ Setuju, Lan, “ ujar kawan dengan penuh semangat.
“ Ran, kamu hati-hati keranjangnya, jangan sampai terlepas ke air, “ ujarku berpesan sambil bercanda  dengan Masrani yang bertugas menjaga keranjang yang berisi ikan besar.
“ Beres Lan, keranjangnya akan ku peluk erat-erat, “ jawab Masrani sambil bercanda pula.
Dalam perjalanan pulang ke muara Sungai Abulung tersebut terasa ringan dan santai, karena jukung kami bergerak dibantu oleh arus air yang mengarah ke muara, sehingga jukung bergerak lebih ringan dan cepat.  Semakin ke muara sungai  arus airnya makin cepat, dan tidak lama kemudian sampailah di muara Sungai Abulung. Jukung kami arahkan ke hulu setelah masuk ke Sungai Martapura yang menjadi salah satu urat nadi perhubungan masyarakat di sekitar aliran sungai tersebut.
“ Wan, nanti singgahlah di batang Makam Datu Abulung, “ ujarku dengan Aswan yang berada di buritan jukung dan juru mudi.
“ Iya, Lan, “ jawab Aswan.
Memang. Tidak jauh dari muara Sungai Abulung terdapat batang, yang merupakan dermaga atau pelabuhan tempat bersandar kapal klotok atau jukung  pezairah yang datang dari berbagai tempat.  Makam Datu Abulung sudah lama ada, tepatnya sejak zaman Kerajaan Banjar dulu, dan menjadi salah satu makam yang sering diziarahi oleh banyak orang, tidak kecuali aku bersama keluarga.
Syekh Abdul Hamid Abulung al-Banjari atau lebih dikenal dengan Datu Abulung adalah salah satu ulama Banjar yang berpengaruh pada masanya. Ia adalah ulama yang pernah menggemparkan Kalimantan dengan paham Wahdatul Wujud. Ia dihukum mati oleh keputusan Sultan Tahmidillah, atas pertimbangan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari yang waktu itu menjabat sebagai mufti besar (https://id.wikipedia.org/wiki/Abdul_Hamid_Abulung_al-Banjari).
Sesampai di batang Makam Datu Abulung kami singgah sebentar untuk berganti pengayuh jukung menuju ke rumah kami yang berjarak sekitar 4 kilometer lagi. Cukup jauh dan lelah mendayungnya karena melawan arus air Sungai Martapura. Aku duduk dan mendayung jukung di bagian buritan, sedangkan Aswan menggantikan aku di posisi depan jukung, Masrani tetap menjaga keranjang ikan dan Syaifudin menjadi penimba air ketika jukung banyak kemasukan air.
Perjalanan pulang ke rumah dengan jukung menelusuri bagian pinggir Sungai Martapura, karena pada bagian pinggir tersebut lebih arusnya lebih tenang daripada di bagian tengahnya. Aku sebagai juru mudi harus dapat mengarahkan jukung ke tempat yang arus airnya tidak terlalu deras, selain mempercepat perjalanan juga menjaga keseimbangan jukung dari terpaan arus sungai, terlebih lagi saat pulang ini jukung kami makin banyak muatannya.
“ Lan, kita menyeberang ke arah Sungai Tangkas, jangan melalui taluk, “ ujar Aswan yang menjadi pasangan aku mendayung jukung.
“ Ya, Wan, nanti kita arahkan setelah lewat Kubah Makam Datu Panjang Rambut,  “ ujarku sambil mendayung dan mengarahkan jukung yang masih berada di Kampung Bawah Haur, kampung kecil yang dekat dengan Makam Datu Abulung.
****

Post a Comment for "Cerpen Kami Anak Sungai : Bagian 21. Mencari Ikan ke Sungai Abulung (3)"