Tidak terasa hari semakin siang. Sementara itu air Sungai Abulung mulai pasang dan makin naik atau
dalam. Ikan yang semula banyak berkumpul di tempat persembunyiannya mulai
menyebar mencari tempat lain atau makanannya, sehingga hasil tangkapan pun
makin sedikit. Sinar matahari mulai
menyengat badan kami yang berada di sungai, maka sudah saatnya kami harus
menyudahi kegiatan mencari ikan siang itu.
“ Bagaimana kawan-kawan kita cukupkan dulu cari ikannya hari ini, “
ujarku mengajak kawan-kawan yang sudah mulai kedinginan.
“ Benar Lan, kita siap-siap pulang, karena hari sudah siang, “ kata
Masrani menanggapi usulanku.
“ Iya, aku sudah kedinginan juga, tambah lagi perut sudah lapar, “ ujar Aswan menambahkan.
“ Ayo, kita berhenti cari ikan dan
mari pulang ke rumah, “ tambah Syaifudin.
Kami membereskan semua peralatan dan ikan hasil tangkapan kami sebelum
bergerak pulang menulusuri Sungai Abulung. Ikan hasil tangkapan kami sebagian
dimasukkan ke dalam keranjang, seperti ikan haruan, papuyu, dan ikan besar
lainnya. Sedangkan ikan kecil-kecil, seperti papuyu, puyau, saluang, dan
sebagainya dimasukkan dalam kolong-kolong jukung kami.
Cukup banyak ikan yang kami dapat dalam pertualangan pagi Ahad itu. Sesudah
semuanya dibereskan, maka segera kami
menaiki jukung dan berangkat pulang ke rumah kami.
“ Lan, aku yang mengayuh di buritan jukung,
“ ujar Aswan yang menjadi pendayung jukung pada bagian buritan sekaligus juru
mudinya.
“ Iya, aku mendayung di depan saja, nanti aku gantian dengan Syaifudin
dan kamu dengan Masrani, bagaimana setujukah kawan-kawan, “ ujarku lagi.
“ Setuju, Lan, “ ujar kawan dengan penuh semangat.
“ Ran, kamu hati-hati keranjangnya, jangan sampai terlepas ke air, “
ujarku berpesan sambil bercanda dengan
Masrani yang bertugas menjaga keranjang yang berisi ikan besar.
“ Beres Lan, keranjangnya akan ku peluk erat-erat, “ jawab Masrani
sambil bercanda pula.
Dalam perjalanan pulang ke muara Sungai Abulung tersebut terasa ringan
dan santai, karena jukung kami bergerak dibantu oleh arus air yang mengarah ke
muara, sehingga jukung bergerak lebih ringan dan cepat. Semakin ke muara sungai arus airnya makin cepat, dan tidak lama
kemudian sampailah di muara Sungai Abulung. Jukung kami arahkan ke hulu setelah
masuk ke Sungai Martapura yang menjadi salah satu urat nadi perhubungan
masyarakat di sekitar aliran sungai tersebut.
“ Wan, nanti singgahlah di batang
Makam Datu Abulung, “ ujarku dengan Aswan yang berada di buritan jukung dan
juru mudi.
“ Iya, Lan, “ jawab Aswan.
Memang. Tidak jauh
dari muara Sungai Abulung terdapat batang,
yang merupakan dermaga atau pelabuhan tempat bersandar kapal klotok atau jukung
pezairah yang datang dari berbagai
tempat. Makam Datu Abulung sudah lama
ada, tepatnya sejak zaman Kerajaan Banjar dulu, dan menjadi salah satu makam
yang sering diziarahi oleh banyak orang, tidak kecuali aku bersama keluarga.
Syekh Abdul Hamid Abulung
al-Banjari atau lebih dikenal dengan Datu Abulung adalah salah satu ulama Banjar yang berpengaruh pada
masanya. Ia adalah ulama yang pernah menggemparkan Kalimantan dengan paham Wahdatul Wujud. Ia dihukum
mati oleh keputusan Sultan Tahmidillah, atas pertimbangan
Syekh Muhammad Arsyad
al-Banjari yang waktu itu menjabat sebagai mufti besar (https://id.wikipedia.org/wiki/Abdul_Hamid_Abulung_al-Banjari).
Sesampai di batang Makam Datu Abulung kami singgah sebentar untuk
berganti pengayuh jukung menuju ke rumah kami yang berjarak sekitar 4 kilometer
lagi. Cukup jauh dan lelah mendayungnya karena melawan arus air Sungai
Martapura. Aku duduk dan mendayung jukung di bagian buritan, sedangkan Aswan
menggantikan aku di posisi depan jukung, Masrani tetap menjaga keranjang ikan
dan Syaifudin menjadi penimba air ketika jukung banyak kemasukan air.
Perjalanan pulang ke rumah dengan jukung menelusuri bagian pinggir
Sungai Martapura, karena pada bagian pinggir tersebut lebih arusnya lebih
tenang daripada di bagian tengahnya. Aku sebagai juru mudi harus dapat
mengarahkan jukung ke tempat yang arus airnya tidak terlalu deras, selain
mempercepat perjalanan juga menjaga keseimbangan jukung dari terpaan arus
sungai, terlebih lagi saat pulang ini jukung kami makin banyak muatannya.
“ Lan, kita menyeberang ke arah Sungai Tangkas, jangan melalui taluk, “
ujar Aswan yang menjadi pasangan aku mendayung jukung.
“ Ya, Wan, nanti kita arahkan setelah lewat Kubah Makam Datu Panjang Rambut, “ ujarku sambil mendayung dan mengarahkan
jukung yang masih berada di Kampung Bawah Haur, kampung kecil yang dekat dengan
Makam Datu Abulung.
****
Post a Comment for "Cerpen Kami Anak Sungai : Bagian 21. Mencari Ikan ke Sungai Abulung (3)"