Perjalanan masih cukup panjang, masih di Kampung Bawah Haur, dan
sekitar 1 kilometer lagi akan melewati tempat keramat yang dikenal oleh
masyarakat kampung kami dan sekitarnya. Namun tidak terkenal seperti makam Datu
Abulung. Tempat keramat itu dikenal dengan kubah Makam Datu Panjang Rambut.
Nama Datu Panjang Rambut sebenarnya adalah Ma,ad bin Ali bin Abdullah bin Jafar.
Mendekati kubah Makam Datu Panjang Rambut, jukung aku arahkan ke
seberang sungai mengarah ke muara Sungai Tangkas. Kecepatan mendayung kami
tambah agar jukung tidak belok dan larut
ke hilir Sungai Martapura, dan dengan sedikit tenaga mendayung jukung maka sampailah di muara Sungai
Tangkas.
“ Lan, ayo kita dayung kuat-kuat agar lekas sampai, “ ujar Aswan
mengajakku.
“ Tenang, Wan, kita santai saja, tapi kalau kamu mau cepat sampai, kamu
yang kuat mendayungnya, “ ujarku dengan Aswan sambil bercanda
“ Iya, Wan. Santai saja, Belanda masih jauh, “ kata Syaifudin sambil bercanda.
Tanpa diketahui oleh kami bertiga, Aswan mengibaskan air ke arah kami
bertiga. Masrani dan Syaifudin terkejut karena mendapat siraman air secara
tiba-tiba dan cukup banyak, sedangkan aku mendapat siriman air sedikit saja
karena jauh dari Aswan. Kami memang senang bercanda dalam pergaulan
sehari-hari, namun kami tidak pernah tersinggung apalagi marah dalam bercanda tersebut. Semua itu kami
lakukan dalam upaya mencairkan suasana dan menyenangkan bagi kami.
Perjalanan dengan jukung menuju ke kampung kami semakin dekat. Dari
muara Sungai Tangkas yang berada di Kampung Tangkas menuju kampung kami sekitar
2 kilometer lagi. Kampung kami belum dapat terlihat dari muara Sungai Tangkas
tersebut karena terlindung oleh rumah penduduk yang ada di pinggir Sungai
Martapura Kampung Tangkas. Hari semakin
siang, sinar matahari makin kuat menerangi alam sekitar, terlebih kami yang
berjuang mendayung jukung di Sungai
Martapura.
“ Lan, nanti kita terus saja, menyeberangnya di seberang muara Sungai
Tabuk, “ ujar Aswan yang mendayung di depan jukung.
“ Iya, Wan, “ jawabku singkat karena tenggorokan teras kering dan haus.
Setelah mendekati seberang muara Sungai Tabuk, aku mengarahkan jukung
menuju muara sungai tersebut. Kecepatan mendayung kembali aku dan Aswan tambah,
agar jukung tidak terseret arus air
Sungai Martapura. Sesampai di sekitar
muara Sungai Martapura, kembali aku dan Aswan melambatkan dayung seraya
menghilangkan rasa lelah.
“ Ran, dimana kita singgah,” ujarku dengan Masrani yang duduk memegang
keranjang ikan di bagian tengah jukung
“ Kita singgah di tumpakanku
saja, “ jawab Masrani.
Setelah menempuh perjalanan sekitar 45 menit, maka akhirnya kami sampai
di tumpakan Masrani, tidak jauh dari
rumahku. Hari semakin panas, udara kering musim kemarau menjadikan kondisi
badan cepat merasa lelah dan haus. Demikian pula dengan kami yang sudah sampai
di kampung setelah mendayung jukung dari
Sungai Abulung hingga sampai di kampung kami.
“ Wan, bantu mengangkat ikan yang tersisa di jukung ke tumpakan, “ pintaku dengan Aswan yang
masih berusaha mengikat jukung di tumpakan
Masrani.
Kami secara gotong royong dan
kebersamaan mengangkat ikan dan membereskan peralatan yang ada di jukung, dan
tidak ketinggalan juga membersihkan jukung itu sendiri agar bersih seperti saat
kami bawa sebelumnya. Sedangkan ikan yang kami dapatkan nantinya akan dibagi
sama, baik ikan besar maupun ikan kecilnya.
“ Din, kamu pinjam timbangan ke Suanang
Awi, “ pintaku kepada Syaifudin, karena dia yang rumahnya paling dekat dengan
orang yang punya timbangan tersebut. Suanang
atau paman Awi yang dimaksud merupakan salah satu orang di kampung kami
yang memiliki timbangan, karena beliau pedagang ikan. Namanya sendiri adalah
Asnawi, tetapi dipanggil Awi saja.
“ Iya, Lan. Aku segera ke sana, “ jawab Syaifudin.
Setelah timbangan datang, maka segera ikan sapat dan ikan-ikan kecil
lainnya di bagi dengan menggunakan timbangan tersebut agar lebih adil. Berdasarkan
hasil pembagian ikan tersebut, masing-masing kami mendapatkan 3 kilogram,
sedangkan ikan yang besarnya akan dijual ke Suanang Awi, selaku pedagang
ikan. Hasil penjualan ikan besanya akan
kami bagi sama untuk menambah uang saku kami sehari-hari, dan tidak banyak
membebani orangtua kami.
Sebelum Zuhur, kami sudah dapat menyelesaikan pembagian hasil mencari
ikan di Sungai Abulung hari itu, dan selanjutnya kami kembali ke rumah
masing-masing dengan membawa ikan-ikan yang kecil dan uang hasil penjualan ikan
yang besanya. Aku dan kawan-kawan segera kembali ke rumah untuk mandi,
membersihkan badan kami yang bau lumpur dan berbagai bau lainnya. Anak sungai
tidak mengenal kata menganggur, kami mampu membantu mengurangi beban orangtua
sebatas kemampuan kami sendiri, tanpa disuruh atau dipaksa oleh siapa pun.
Semua kami lakukan dengan atas kemauan kami sendiri dengan senang hati,
ikkhlas, dan penuh kegembiraan.
****
Post a Comment for "Cerpen Kami Anak Sungai : Bagian 22. Mencari Ikan ke Sungai Abulung (4. Habis )"