Cerpen Kami Anak Sungai : Bagian 22. Mencari Ikan ke Sungai Abulung (4. Habis )


Perjalanan masih cukup panjang, masih di Kampung Bawah Haur, dan sekitar 1 kilometer lagi akan melewati tempat keramat yang dikenal oleh masyarakat kampung kami dan sekitarnya. Namun tidak terkenal seperti makam Datu Abulung. Tempat keramat itu dikenal dengan kubah Makam Datu Panjang Rambut. Nama Datu Panjang Rambut sebenarnya adalah Ma,ad bin Ali  bin Abdullah bin Jafar.
Mendekati kubah Makam Datu Panjang Rambut, jukung aku arahkan ke seberang sungai mengarah ke muara Sungai Tangkas. Kecepatan mendayung kami tambah agar jukung tidak belok  dan larut ke hilir Sungai Martapura, dan dengan sedikit tenaga mendayung jukung maka sampailah di muara Sungai Tangkas.  
“ Lan, ayo kita dayung kuat-kuat agar lekas sampai, “ ujar Aswan mengajakku.
“ Tenang, Wan, kita santai saja, tapi kalau kamu mau cepat sampai, kamu yang kuat mendayungnya, “ ujarku dengan Aswan sambil bercanda
“ Iya, Wan. Santai saja, Belanda masih jauh, “ kata Syaifudin sambil bercanda.


Tanpa diketahui oleh kami bertiga, Aswan mengibaskan air ke arah kami bertiga. Masrani dan Syaifudin terkejut karena mendapat siraman air secara tiba-tiba dan cukup banyak, sedangkan aku mendapat siriman air sedikit saja karena jauh dari Aswan. Kami memang senang bercanda dalam pergaulan sehari-hari, namun kami tidak pernah tersinggung apalagi marah  dalam bercanda tersebut. Semua itu kami lakukan dalam upaya mencairkan suasana dan menyenangkan bagi kami.
Perjalanan dengan jukung menuju ke kampung kami semakin dekat. Dari muara Sungai Tangkas yang berada di Kampung Tangkas menuju kampung kami sekitar 2 kilometer lagi. Kampung kami belum dapat terlihat dari muara Sungai Tangkas tersebut karena terlindung oleh rumah penduduk yang ada di pinggir Sungai Martapura Kampung Tangkas.  Hari semakin siang, sinar matahari makin kuat menerangi alam sekitar, terlebih kami yang berjuang mendayung jukung di Sungai Martapura.
“ Lan, nanti kita terus saja, menyeberangnya di seberang muara Sungai Tabuk, “ ujar Aswan yang mendayung di depan jukung.
“ Iya, Wan, “ jawabku singkat karena tenggorokan teras kering dan haus.
Setelah mendekati seberang muara Sungai Tabuk, aku mengarahkan jukung menuju muara sungai tersebut. Kecepatan mendayung kembali aku dan Aswan tambah, agar jukung tidak terseret arus air Sungai Martapura.  Sesampai di sekitar muara Sungai Martapura, kembali aku dan Aswan melambatkan dayung seraya menghilangkan rasa lelah.
“ Ran, dimana kita singgah,” ujarku dengan Masrani yang duduk memegang keranjang ikan di bagian tengah jukung
“ Kita singgah di tumpakanku saja, “ jawab Masrani.
Setelah menempuh perjalanan sekitar 45 menit, maka akhirnya kami sampai di tumpakan Masrani, tidak jauh dari rumahku. Hari semakin panas, udara kering musim kemarau menjadikan kondisi badan cepat merasa lelah dan haus. Demikian pula dengan kami yang sudah sampai di kampung setelah mendayung jukung dari Sungai Abulung hingga sampai di kampung kami.
 “ Wan, bantu  mengangkat ikan yang tersisa di jukung ke tumpakan, “ pintaku dengan Aswan yang masih berusaha mengikat jukung di tumpakan Masrani.
Kami secara gotong royong  dan kebersamaan mengangkat ikan dan membereskan peralatan yang ada di jukung, dan tidak ketinggalan juga membersihkan jukung itu sendiri agar bersih seperti saat kami bawa sebelumnya. Sedangkan ikan yang kami dapatkan nantinya akan dibagi sama, baik ikan besar maupun ikan kecilnya.
“ Din, kamu pinjam timbangan ke Suanang Awi, “ pintaku kepada Syaifudin, karena dia yang rumahnya paling dekat dengan orang yang punya timbangan tersebut. Suanang atau paman Awi yang dimaksud merupakan salah satu orang di kampung kami yang memiliki timbangan, karena beliau pedagang ikan. Namanya sendiri adalah Asnawi, tetapi dipanggil Awi saja.
“ Iya, Lan. Aku segera ke sana, “ jawab Syaifudin.
Setelah timbangan datang, maka segera ikan sapat dan ikan-ikan kecil lainnya di bagi dengan menggunakan timbangan tersebut agar lebih adil. Berdasarkan hasil pembagian ikan tersebut, masing-masing kami mendapatkan 3 kilogram, sedangkan ikan yang besarnya akan dijual ke Suanang Awi, selaku pedagang ikan.  Hasil penjualan ikan besanya akan kami bagi sama untuk menambah uang saku kami sehari-hari, dan tidak banyak membebani orangtua kami.
Sebelum Zuhur, kami sudah dapat menyelesaikan pembagian hasil mencari ikan di Sungai Abulung hari itu, dan selanjutnya kami kembali ke rumah masing-masing dengan membawa ikan-ikan yang kecil dan uang hasil penjualan ikan yang besanya. Aku dan kawan-kawan segera kembali ke rumah untuk mandi, membersihkan badan kami yang bau lumpur dan berbagai bau lainnya. Anak sungai tidak mengenal kata menganggur, kami mampu membantu mengurangi beban orangtua sebatas kemampuan kami sendiri, tanpa disuruh atau dipaksa oleh siapa pun. Semua kami lakukan dengan atas kemauan kami sendiri dengan senang hati, ikkhlas, dan penuh kegembiraan.
****

Post a Comment for "Cerpen Kami Anak Sungai : Bagian 22. Mencari Ikan ke Sungai Abulung (4. Habis )"