Pagi menyapa kampung kami dengan kicauan bunyi burung yang bersahutan
di pohon kasturi dan pepohonan belakang perkampungan. Sinar matahari menembus
di sela-sela dahan dan dedaunan pohon
kasturi, rumpun bambu, dan pohon besar
lainnya. Angin pagi berhembus lembut, suasana kampungku tenang dan tentram.
Kesibukan masyarakat kampung kami sudah terlihat di warung-warung yang
buka sejak habis subuh tadi. Ada yang minum kopi atau teh panas sambil menyantap kue-kue khas olahan
masyarakat kampung kami, seperti pais
pisang, untuk-untuk, guguduh, dan sebagainya. Ada juag yang
makan nasi kuning, lontong, lapat,
atau makanan lainnya untuk sarapan pagi sebelum berangkat ke sawah dan tempat kerja
lainnya. Sementara itu, di Sungai Martapura juga sudah terlihat aktivitas
masyarakat kampung kami atau kampung –kampung lainnya yang menggunakan jukung atau sampan guna berbagai keperluan.
“ Lan, kamu sudah siapkah, “ ujar Masrani menanyaiku ketika berada di
depan rumahku.
“ Sudah siap, Syaifudin dan Aswan bagaimana, “ jawabku seraya
menanyakan keberadaan Syaifudin dan Aswan yang
sudah menyanggupi untuk bergabung dengan kami berangkat ke Sungai
Abulung.
“ Sebentar lagi mereka datang, tadi sudah aku datangi ke rumahnya, “
ujar Masrani meyakinkanku.
Benar. Tidak berapa kemudian kedua kawan kami yang ditunggu-tunggu
akhirnya datang juga. Syaifudin datang
lebih dulu, sedangkan Aswan menyusul tidak lama setelah Syaifudin datang. Semua
sudah kumpul, dan selanjutnya kami pun segera berangkat menuju Sungai Abulung.
Hari masih pagi, dan kondisi air Sungai Martapura saat itu sedang surut karena
masih musim kemarau dan terjadi pasang –surut yang cukup lama.
“ Ayo, kawan-kawan kita berangkat, “ ajak Masrani dengan kami bertiga.
“ Iya, Ran, kami sudah siap juga, “ ujarku
“ Jukung dan dayungnya sudah disiapkan Ran, “ tanya Aswan dengan Masrani.
“ Sudah, semuanya aku siapkan, “ ujar Masrani lagi.
Kami pun menuju jukung yang sudah disiapkan Masrani di tumpakan milik keluarganyanya. Tumpakan merupakan tempat semacam
dermaga dalam bentuk kecil terbuat dari kayu ulin yang digunakan untuk mandi, cuci pakaian,
menambatkan jukung, dan sebagianya.
“ Din, sarakapnya letakkan di
tengah, “ ujarku dengan Syaifudin yang membawa sarakap.
“ Iya Lan, “ jawab Syaifudin sambil duduk di tengah jukung memegang sarakapnya.
“ Aku dan Masrani yang mengayuh jukungnya, Aswan bertugas menimba air
jukung, “ ujarku dengan kawan-kawan membagi tugas.
Jukung mulai bergerak menuju ke hilir sungai, karena letak Sungai Abulung
di bagian hilir dari kampung kami. Laju jukung semakin lama semakin cepat
seiring dengan kecepatan mendayung dan arus aliran sungai yang cukup deras saat
airnya sedang surut. Saat dalam
perjalanan menuju ke Sungai Abulung ini kami ada berpapasan dengan masyarakat
lain yang menggunakan jukung pada pagi itu. Sebagian besar masyarakat yang
berpapasan dengan kami menggunakan jukung itu merupakan para pencari ikan yang
baru pulang dari Sungai Abulung.
Masyarakat pencari ikan tersebut berangkatnya sejak tengah malam secara berkelompok
4-6 orang dengan membawa peralatan lengkap mencari ikan tradisional, seperti
ampang, sarakap, tampirai, dan sebagainya. Mereka tersebut merupakan pencari
ikan tradisional yang sudah terbiasa mencari ikan saat musim kemarau di sungai-sungai kecil di sekitar kampung kami
dan kampung sekitarnya.
Sekitar tigapuluh menit kami sampai di muara Sungai Abulung. Tidak jauh
dari Sungai Abulung tersebut ada makam keramat yang terkenal di daerah kami,
yaitu Makam Syekh Abdul Hamid Abulung, atau dikenal masyarakat dengan nama Datu Abulung. Tidak lama kemudian
mengayuh jukung, maka sampailah di areal sawah milik orang tua Masrani. Rencana
kami di tempat inilah mulai kami bergerak mencari ikan di sungaik kecil yang
airnya cukup dangkal.
“ Ayo kawan-kawan kita turun ke sungai, kita sudah sampai, “ ujar
Masrani memberitahu kami semua.
“ Iyakah, di sinikah sawah orangtua kamu Ran, “ ujarku dengan Masrani
yang sudah turun ke air sungai yang cukup deras dan tentunya juga sangat dingin
di pagi itu.
“ Ya, itu di balik pohon kuini itu, “ ujar Masrani sambil menunjukkan
jarinya kea rah yang dimaksud.
Aku dan kawan-kawan bercebur dan masuk ke air Sungai Abulung yang sedang surut dan alirannya cukup deras.
Mulailah kami mencari ikan dengan menggunakan tangan kosong dan sesekali Aswan menggunakan sarakap untuk menangkap ikan yang lebih
besar, seperti ikan haruan (gabus), papuyu
( betook) , atau sapat siam. Ketika air surut ini merupakan saat yang
tepat untuk mencari ikan yang sedang berkumpul pada tempat yang ada aman dari
arus air sungai yang deras, misalnya pada bekas batang pohon yang tumbang,
kumpulan rumput air, dan sebagainya.
*****
Post a Comment for "Cerpen Kami Anak Sungai : Bagian 20. Mencari Ikan ke Sungai Abulung (2)"