Selepas panen padi di kampung kami diisi dengan berbagai permainan oleh
kalangan anak-anak hingga orang dewasa. Pada areal persawahan yang telah
dipanen, digunakan sebagai lapangan sepakbola yang selalu ramai pada saat sore
hingga senja tiba. Areal persawahan yang datar dan luas dijadikan lapangan
sepak bola oleh kalangan pemuda dan orang dewasa, sehingga di persawahan kampung
kami dan juga kampung tetangga bermunculan lapangan sepakbola ala kampung.
Pertandingan sepakbola antar kampung pun sering dilaksanakan di kampung
kami. Adanya lapangan sepakbola dadakan tersebut membuat areal persawahan pada
sore setiap harinya selalu ramai dengan kedatangan masyarakat yang menonton
permainan sepakbola, terlebih lagi saat datang tim sepakbola dari kampung lain.
Pertandingan sepakbola persahabatan antar kampung menjadi tontonan gratis masyarakat.
Kemudian, seusai permainan sepakbola tidak dapat dilakukan lagi karena
lapangannya dan seluruh areal persawahan terendam air banjir yang datang saat musim penghujan, maka
kegiatan atau permainan sepakbola beralih ke kampung kembali. Halaman sekolah
menjadi tempat yang paling sering digunakan untuk bermain sepakbola. Di kampung
kami ada sekolah dasar yang cukup luas halamannya. Bangunan sekolahnya berupa
panggung, sehingga bagian bawahnya terbuka. Saat permainan sepakbola, sangat
sering bolanya masuk ke kolong sekolah, sehingga perlu diambil dengan cara
masuk kolong sekolah atau diambil dengan alat khusus untuk mengambil bola
tersebut.
Selain melakukan permainan yang umumnya dilakukan oleh banyak orang, di
kampung kami juga permainan yang mengandung mistik. Permainan itu dikenal
dengan sebutan ‘unggat-unggat samuning’.
Pemain yang dijadikan tokoh dalam permainan ini merupakan orang yang memiliki
persyaratan khusus, diantaranya harus
laki-laki dari lima bersaudara yang sama –sama laki-laki atau disebut juga
pandawa lima. Jadi, tidak sembarangan orang yang dapat menjadi pemain utama
dalam permainan tersebut.
“ Lan, kita ke hilir, ikut menonton permainan unggat –unggat samuning di depan rumah julak Amat yuk, “ajak Aswan denganku.
“ Iyakah, kapan mainnya” jawabku
“ Sekarang, mereka mau mulai” kata Masrani menambahkan.
“ Ayo, kita berangkat sekarang “ kata Aswan dengan semangatnya.
“ Ayo “ jawabku singkat.
Kami berempat berangkat menuju halaman rumah Julak Amat, yang berjarak
sekitar 1 km dari rumah kami. Halaman rumahnya memang tidak terlalu luas, namun
diantara halaman yang ada di sekitarnya terbilang cukup luas. Ketika kami
sampai di tempat tersebut sudah banyak anak-anak dan orang dewasa lainnya yang
datang untuk melihat permainan bernuansa mistik tersebut.
Permainan pun mau dimulai. Pemain utama dalam permainan unggat-unggat samuning ini adalah
seorang kawan sekolah kami yang namanya Anang Saberi. Ia adalah si bungsu dalam
lima bersaudara laki-laki. Ayahnya dikenal sebagai tukang urut yang sering
membantu orang di kampung dan kampung yang lainnya, dan beliau sering dipanggil
dengan Kai Kati.
“ Lan, kamu mau ikut gabungkah dalam permainan ini” ajak Anang Saberi
dengan aku.
“ Tidak, Nang. Aku mau nonton
saja” jawabku.
Ikut dalam permainan ini bukan berarti jadi pemain utama, tetapi hanya bertugas
mengikuti pembacaan ‘mantera’ yang mengiringi permainan tersebut. Permainan unggat-unggat samuning pun segera
dimulai. Anang Saberi yang jadi pemain utama sudah duduk di tempat yang
disediakan. Ia dikelilingi oleh anak-anak
yang lain yang nantinya akan turut membacakan ‘mentara’. Salah seorang
dari kelompok pengiring itu memegang kepala seraya menutup mata pemain utama.
Ketika permainan sudah mulai berjalan dengan diiringi pembacaan ‘mantera’
oleh kelompok pengiring, maka secara berangsur-ansur pemegang kepala Anang
Saberi mulai dilepas. Anang Saberi sebagai pemain utama mulai tidak sadar diri.
Ia bergerak seperti seekor monyet, lincah dan gesit melompat –lompat ke sana ke
mari. Kemudian, pemain utama ini menaiki pohon yang ada di halaman tersebut
dengan lincah dan cepatnya. Cukup lama pemain utama bertingkah laku seperti
seekor monyet, hingga ketika berada di bawah dia disadarkan dengan menyebut
nama yang sebenarnya, yaitu Anang saberi.
Anang Saberi terlihat kelelahan sesudah ia tersadar dari permainan unggat-unggat samuning. Semua penonton
terhibur, termasuk aku dan kawanku yang lain. Namun, kasihan juga dengan Anang
Saberi sebagai pemain utama kelelahan setelah banyak bergerak selama dia tidak
sadarkan diri.
“ Bagaimana Nang, capekkah”
ujarku menanyakan pemain utama permaina unggat-unggat
samuning.
“ Iya, Lan. Badanku terasa capek, lelah, dan haus” ujar Anang Saberi.
“ Ya, istirahat lah Nang” ujarku lagi.
Aku, kawan-kawan dan penonton yang lainnya secara bertahap pulang
kembali ke rumah masing-masing setelah mendapatkan hiburan gratis sore itu.
Itulah hiburan anak-anak dan masyarakat kampung, karena tidak ada hiburan lain
di kampung lain. Meski dengan hiburan
yang sangat sederhana dan apa adanya, kami semua merasa terhibur, gembira, dan
bersuka cita dalam kehidupan kampung yang sederhana, sesederhana pola piker dan
kehidupan kami.
****
Post a Comment for "**** Cerpen Kami Anak Sungai : Bagian 11. Permainan Mistik Anak Pandawa Lima"