**** Cerpen Kami Anak Sungai : Bagian 11. Permainan Mistik Anak Pandawa Lima


Selepas panen padi di kampung kami diisi dengan berbagai permainan oleh kalangan anak-anak hingga orang dewasa. Pada areal persawahan yang telah dipanen, digunakan sebagai lapangan sepakbola yang selalu ramai pada saat sore hingga senja tiba. Areal persawahan yang datar dan luas dijadikan lapangan sepak bola oleh kalangan pemuda dan orang dewasa, sehingga di persawahan kampung kami dan juga kampung tetangga bermunculan lapangan sepakbola ala kampung.
Pertandingan sepakbola antar kampung pun sering dilaksanakan di kampung kami. Adanya lapangan sepakbola dadakan tersebut membuat areal persawahan pada sore setiap harinya selalu ramai dengan kedatangan masyarakat yang menonton permainan sepakbola, terlebih lagi saat datang tim sepakbola dari kampung lain. Pertandingan sepakbola persahabatan antar kampung menjadi tontonan gratis masyarakat.

Kemudian, seusai permainan sepakbola tidak dapat dilakukan lagi karena lapangannya dan seluruh areal persawahan terendam air banjir  yang datang saat musim penghujan, maka kegiatan atau permainan sepakbola  beralih ke kampung kembali. Halaman sekolah menjadi tempat yang paling sering digunakan untuk bermain sepakbola. Di kampung kami ada sekolah dasar yang cukup luas halamannya. Bangunan sekolahnya berupa panggung, sehingga bagian bawahnya terbuka. Saat permainan sepakbola, sangat sering bolanya masuk ke kolong sekolah, sehingga perlu diambil dengan cara masuk kolong sekolah atau diambil dengan alat khusus untuk mengambil bola tersebut.
Selain melakukan permainan yang umumnya dilakukan oleh banyak orang, di kampung kami juga permainan yang mengandung mistik. Permainan itu dikenal dengan sebutan ‘unggat-unggat samuning’. Pemain yang dijadikan tokoh dalam permainan ini merupakan orang yang memiliki persyaratan khusus,  diantaranya harus laki-laki dari lima bersaudara yang sama –sama laki-laki atau disebut juga pandawa lima. Jadi, tidak sembarangan orang yang dapat menjadi pemain utama dalam permainan tersebut.
“ Lan, kita ke hilir, ikut menonton permainan unggat –unggat samuning di depan rumah julak Amat yuk, “ajak Aswan  denganku.
“ Iyakah, kapan mainnya” jawabku
“ Sekarang, mereka mau mulai” kata Masrani menambahkan.
“ Ayo, kita berangkat sekarang “ kata Aswan dengan semangatnya.
“ Ayo “ jawabku singkat.
Kami berempat berangkat menuju halaman rumah Julak Amat, yang berjarak sekitar 1 km dari rumah kami. Halaman rumahnya memang tidak terlalu luas, namun diantara halaman yang ada di sekitarnya terbilang cukup luas. Ketika kami sampai di tempat tersebut sudah banyak anak-anak dan orang dewasa lainnya yang datang untuk melihat permainan bernuansa mistik tersebut.
Permainan pun mau dimulai. Pemain utama dalam permainan unggat-unggat samuning ini adalah seorang kawan sekolah kami yang namanya Anang Saberi. Ia adalah si bungsu dalam lima bersaudara laki-laki. Ayahnya dikenal sebagai tukang urut yang sering membantu orang di kampung dan kampung yang lainnya, dan beliau sering dipanggil dengan Kai Kati.
“ Lan, kamu mau ikut gabungkah dalam permainan ini” ajak Anang Saberi dengan aku.
 “ Tidak, Nang. Aku mau nonton saja” jawabku.
Ikut dalam permainan ini bukan berarti jadi pemain utama, tetapi hanya bertugas mengikuti pembacaan ‘mantera’ yang mengiringi permainan tersebut. Permainan unggat-unggat samuning pun segera dimulai. Anang Saberi yang jadi pemain utama sudah duduk di tempat yang disediakan. Ia dikelilingi oleh anak-anak  yang lain yang nantinya akan turut membacakan ‘mentara’. Salah seorang dari kelompok pengiring itu memegang kepala seraya menutup mata pemain utama.
Ketika permainan sudah mulai berjalan dengan diiringi pembacaan ‘mantera’ oleh kelompok pengiring, maka secara berangsur-ansur pemegang kepala Anang Saberi mulai dilepas. Anang Saberi sebagai pemain utama mulai tidak sadar diri. Ia bergerak seperti seekor monyet, lincah dan gesit melompat –lompat ke sana ke mari. Kemudian, pemain utama ini menaiki pohon yang ada di halaman tersebut dengan lincah dan cepatnya. Cukup lama pemain utama bertingkah laku seperti seekor monyet, hingga ketika berada di bawah dia disadarkan dengan menyebut nama yang sebenarnya, yaitu Anang saberi.
Anang Saberi terlihat kelelahan sesudah ia tersadar dari permainan unggat-unggat samuning. Semua penonton terhibur, termasuk aku dan kawanku yang lain. Namun, kasihan juga dengan Anang Saberi sebagai pemain utama kelelahan setelah banyak bergerak selama dia tidak sadarkan diri.
“ Bagaimana  Nang, capekkah” ujarku menanyakan pemain utama permaina unggat-unggat samuning.
“ Iya, Lan. Badanku terasa capek, lelah, dan haus” ujar Anang Saberi.
“ Ya, istirahat lah Nang” ujarku lagi.
Aku, kawan-kawan dan penonton yang lainnya secara bertahap pulang kembali ke rumah masing-masing setelah mendapatkan hiburan gratis sore itu. Itulah hiburan anak-anak dan masyarakat kampung, karena tidak ada hiburan lain di kampung lain.  Meski dengan hiburan yang sangat sederhana dan apa adanya, kami semua merasa terhibur, gembira, dan bersuka cita dalam kehidupan kampung yang sederhana, sesederhana pola piker dan kehidupan kami.
****

Post a Comment for "**** Cerpen Kami Anak Sungai : Bagian 11. Permainan Mistik Anak Pandawa Lima"