Bagian 6. Buku JMMP-2019. Menulis yang Terdekat : MENULIS PERJALANAN HIDUP DIRI SENDIRI


Kebingungan guru mau menulis apa yang akan dituangkannya sebenarnya tidak perlu  terjadi,  jika guru mau melihat sesuatunya dari hal yang terdekat dengan dirinya atau tugas dan profesinya selama ini, baik itu tentang kehidupan pribadinya, seluk beluk pekerjaan, berbagai masalah yang dihadapinya dalam melaksanakan tugas atau profesinya, dan hal-hal yang paling dialami dan diketahuinya. Guru memiliki bahan atau materi tulisan yang dekat dengan diri dan kehidupannya sehari-hari.
Setiap guru memiliki cerita tentang sejarah perjalanan hidupnya. Bukankah setiap cerita kehidupan kita adalah moment yang sangat berharga dan selalu dikenang, seperti hari kelahiran, masa kanak-kanak, masuk sekolah pertama, masa remaja, dan sebagainya. Terlalu banyak cerita yang dapat kita ungkapkan dalam tulisan jika kita mampu mengingat kembali kisah perjalanan kehidupan kita sampai saat ini. Persoalannya, mungkin kita saja yang selama ini berpikir terlalu jauh dengan diri kita sendiri, sehingga kita melupakan kisah perjalanan diri kita.


Lalu, bagaimana lagi dengan cerita dari perjalanan kita  sebagai guru? Tentunya banyak pula cerita dan pengalaman yang dapat dijadikan bahan atau materi tulisan. Guru tentu  paling mengetahui secara detail perjalanan karir dari profesinya sebagai guru dibandingkan orang lain. Perjalanan karir sebagai guru tentu bukan perjalanan karir biasa, karena menjadi guru itu sebuah pengabdian yang banyak menyimpan cerita didalamnya. Cerita yang diawali saat pertama praktik mengajar di kelas latihan, saat pertama masuk kelas melaksanakan tugas menjadi guru, saat dimana bertemu dengan siswa yang baru dikenal,  mengenal satu per satu siswa, dan berbagai cerita lainnya.
Bercerita secara lisan bagi banyak orang adalah sesuatu yang mudah, apalagi  bercerita tentang kehidupan yang telah dialaminya selama ini. Demikian pula bagi seorang guru, menceriatakan kehidupannya selama ini sangat mudah disampaikannya. Nah, sekarang bagaimana kalau cerita kehidupan kita tersebut disampaikan dan diceritakan dalam bentuk tulisan. Menulis biografi diri sendiri merupakan salah satu langkah awal yang tepat dan terdekat untuk memulai menjadi penulis, tidak mesti dalam bentuk tulisan yang rinci atau lengkap.
Bagi penulis pemula, menulis tentang perjalanan hidup diri sendiri akan membuka banyak ingatan atau cerita masa lalu yang pernah dialami dan dilalui selama ini.  Bermula dari kelahiran, sekolah, kuliah, mulai bekerja, menikah, punya anak, dan sebagainya. Setiap sisi kehidupan kita punya ceritanya, dan dari cerita itulah kita menulisnya secara bertahap dari waktu ke waktu perjalanan kehidupan kita. Menulis tentang diri sendiri itu mudah, terlebih lagi jika dibantu oleh keluarga terdekat, seperti ayah, ibu, dan keluarga terdekat lainnya, yang mengetahui akan jejak langkah kehidupan kita sejak kecil.
Penulis pernah membantu mengeditkan tulisan cerita pendek atau cerpen seorang guru yang baru pertama kalinya menulis cerpen tersebut. Ternyata cerita dari cerpen tersebut merupakan biografi dari penulis sendiri yang ditulis sedemikian rupa dalam bentuk cerpen yang menarik dan unik, karena berlatar belakang etnis dan budaya daerah, yaitu suku Banjar, Kalimantan Selatan. Judul cerpen tersebut adalah “ Bauntung Batuah” karya Milasari, S.Kom, seorang guru di SMP Negeri 1 Astambul, Kabupaten Banjar.
Menulis tentang diri sendiri dapat menjadi pintu masuk menjadi penulis, setidaknya memberikan suatu nilai khusus yang dapat bermanfaat bagi diri sendiri sendiri dan keluarga nantinya. Ketika tulisan tersebut menjadi sebuah buku yang menjadi koleksi pribadi, maka saat itu kita telah ‘mengabadikan’ jejak rekam kehidupan kita untuk diwariskan kepada anak-cucuk kita dikemudian hari. 
Mewariskan harta yang banyak bagi keturunan kita belum tentu dapat kita berikan, namun mewariskan buku tentang kehidupan kita dapat menjadi ‘warisan’ bagi anak-cucu kita dikemudian hari. Dengan adanya buku yang diwariskan kepada generasi kita kemudian, maka sejarah perjalanan hidup kita akan menjadi ‘pelajaran’ bagi  generasi berikutnya.
Berikut ini penulis contohkan sebuah artikel tentang kisah kehidupan dari seorang guru yang pernah mengikuti Workshop Menulis Artikel yang diselenggarakan oleh IGI  (Ikatan Guru Indonesia) Tanah Laut angkatan II Maret, 2018 yang lalu, judulnya “ Kesabaran Membuatku Bertahan “ oleh  Susi Lestari, yang isinya “ Penulis terlahir dari keluarga sederhana di sebuah kota yang bernama  Kota Banjarbaru . Kota dengan  lingkunganya ramai, indah dan menyenangkan. Penulis hanya lulus SMA, lalu bekerja pada sebuah perusahaan mie di daerah dekat rumahku.   Hampir 8 tahun penulis menjadi  karyawan di perusahaan mie tersebut, dan penulis menikmatinya.
Pada tahun 1996, penulis menikah dengan suamiku yang sekarang, hingga  tahun 1999 penulis harus pindah untuk mengikuti suami pulang ke daerah tempat tinggalnya.  Penulis pindah bukan karena suami kena mutasi  seperti seorang PNS, atau kerja pada sebuah perusahaan,  tetapi karena suami penulis adalah salah seorang warga transmigrasi di Bukit Mulia,  sebuah desa yang sepi jauh dari keramaian dan masih terbelakang kehidupannya.
Kehidupan  penulis  terbalik  360  derajat,  dari kondisi kehidupan yang mudah, lingkungan yang indah, terang benderang, ramai, dan semua tersedia, terjangkau, dan  serba  instan. Kini, beruabah menjadi suasana  sangat berbeda. Jauh dari suasana hiruk pikuk dari berbagai kegiatan orang. Sepi, cuma suara hewan  malam yang selalu terdengar berdendang menemani penulis dalam kegelapan malam.
Penerangan listrik pun tidak ada, hanya memakai lampu pelita dari minyak tanah, itu pun hasil karya suami penulis sendiri yang dia buat dari botol bekas minuman dan kain  yang sudah tidak terpakai. Sungguh sesuatu yang jauh dari sehat,   sangat mengganggu dalam pencernaan manusia ketika terhirup, apalagi kalau terlalu besar  nyala apinya. Seringkali,  ketika pagi-pagi  bangun dari tidur, di bawah hidung penulis  ada cairan berwarna hitam,  akibat asap bercampur minyak tanah yang aku hirup waktu tidur semalaman. “ Hmmmm…Aku selalu tersenyum dengan kejadian itu”.
Selain itu, masyarakatnya tidak hanya dari 1 (satu)  suku saja,  tetapi ada banyak suku, karena memang semua pendatang. Ada dari Bandung, Banyumas, Kebumen, Demak, Klaten, Sragen, Bojonegoro, Lamongan, Madura, bahkan pendatang dari  lokalpun ada, sehingga  membuat kehidupan belum dapat  selaras dan masih terlihat kehidupan yang terkotak-kotak, ada blok Sunda,  Madura, Jawa, dan sebagainya.
Sangat sedih sekali jika malam tiba, terbayang hidup yang dulu penulis alami  serba ada. Begitulah kenyataan hidup pada saat itu,  dan disinalah awal kesabaranku diuji.  Penulis bersyukur,  pada sisi lain,  kehidupan suami penulis dari  keluarga muslim yang taat. Bapak mertua penulis  yang sudah  almarhum, adalah seorang PNS yang berprofesi sebagai guru agama. Penulis mendengar cerita dari  suami dan juga foto-foto beliau.
Penulis melihat pada sebuah album foto yang sudah lusuh dan usang, ada foto kegiatan keagamaan pada album tersebut. Ada lagi yang membuat penulis tenang dan tentram dalam kesederhanan ini,  penulis selalu mendengarkan lantunan ayat ayat suci Al Qur an yang selalu di baca ibu mertua   setiap  habis sholat wajib,  dan itu terus menerus dilakukan beliau. Hal  ini yang selalu membuat dingin  hati  penulis.
Suami penulis hanyalah orang biasa saja,  dia ikut kerja harian pada kebun kelapa sawit  sambil  berkebun sayur di belakang rumah kami. Ketika menjelang  magrib,  banyak anak anak  kecil laki-laki dan   perempuan  selalu berkumpul di depan rumah penulis, entah itu disuruh orang tuanya  atau kemauan  dia sendiri,  penulis pun tidak tahu. Ahirnya,  penulis dan suami  mengajak mereka belajar mengaji dan sholat bersama.
Hari-hari penulis lalui dengan rasa prihatin terhadap keadaan keluarga dan masyarakat sekitar yang juga hidup dalam taraf serba kekurangan,  hingga  terbersit di pikiran  penulis sebuah angan,  “ tidak akan berkembang kehidupan ini,  kalau lingkungannya tidak  mendukung”.
Syukur Alhamdulillah,  datanglah  seorang ibu, seorang kepala sekolah SDN BUKIT MULIA 2,  Ibu Siti Rokhimah namanya.  Beliau mengajak penulis untuk membantu mengajar di sekolah  yang dipimpinnya tersebut,  karena waktu itu guru pengajar sangat minim. Penulis saat itu untuk menerima tawaran tersebut,  karena penulis tidak punya keahlian mengajar, Namun, ibu Siti Rokhimah meyakinkan penulis, bahwa penulis mampu untuk mengajar.     Yang pasti,  sabar dan ulet,  yang di ajarikan  hanya anak  kecil kecil kelas 1,  yang penting bisa ngomong”  jelas ibu Siti Rokhimah meyakinkan penulis.
Hari pertama penulis lalui di sekolah dengan perasaan yang  tegang. Meskipun penulis di rumah sudah terbiasa membantu suami mengajari anak-anak belajar membaca huruf Arab dan baca tulis al Qur,an, tetapi di sekolah sangat jauh berbeda suasananya. Anak-anak kecil memang susah diarahkan, ada yang  minta minum, kencing di celana, menangis, minta pulang, dan lain lain. Sementara itu, penulis juga susah memahami  bahasanya,  karena mereka dari berbagai macam suku.
Karakter mereka  yang beda,  banyak orang tuanya yang kerja di perkebunan kelapa sawit, pagi-pagi sudah harus berangkat ke kebun, sehingga anak-anak anaknya tidak  diperhatikan, baik urusan keperluan makan,  mandi, pakaian, dan  berangkat ke sekolah dilakukan oleh anaknya sendiri.  Penulis  sering geleng geleng kepala dengan keadaan anak anak didik yang berangkat sekolah dalam keadaan rambut tidak tersisir rapi, kancing bajunya yang tidak dipasang pada tempatnya, tidak mandi, dan sebagainya.  
Penulis sangat memaklumi kondisi  siswa tersebut di atas, sebab orangtuanya pun juga susah untuk diajak konsultasi demi kemajuan anak-anaknya. Mereka hanya pasrah saja pada gurunya di sekolah. Kondisi tersebut cukup melelahkan dan menguji kesabaran penulis, karena penulis tidak memiliki latar belakang sebagai guru atau pendidik dan juga  penulis bukan tipe wanita yang lembut dan halus tutur sapanya. 
Sering kalau sampai di rumah,  penulis  selalu merenung dan  terbayang dibenak tentang  sebuah kehidupan didepan yang rumit dan komplek. Namun, ini memang kenyataan yang  harus penulis  jalani serta  pelajari. Tidak lupa pula penulis mencurahkan perasaan kepada suami. Suami penulis selalu memberi nasehat    ya yang sabar,  jangan menyerah,  kalau orang tidak mudah menyerah maka orang sudah dekat sekali dengan kesuksesan”.  Menurut suami penulis, dalam dunia ini,  hanya ada 2 (dua)  orang yang susah dikalahkan, yaitu orang yang sabar, dan  orang yang tidak mudah menyerah. Banyak berusaha dan berdoa agar  dikuatkan hati dan  kita diberi cara yang mudah untuk menghadapi  masalah  tersebut. Akhirnya,   sedikit demi sedikit penulis mulai memakluminya.
Sejalanya dengan perjalanan waktu, hari berganti minggu, bulan berganti tahun, dan  dengan kesabaran semampunya disertai dukungan dari pihak keluarga, penulis tidak menyerah untuk menyelami dan mengambil hati anak anak. Penulis pun mulai mengikuti irama kehidupannya sedikit demi sedikit,  mereka mulai penulai dapat  ‘kuasai’,  apalagi ketika pelajaran olah raga sepertinya penulis  lebih mampu  mengambil hati  mereka.
Alhamdulillah,  ahirnya Allah Wst, Tuhan Yang Maha Kuasa pun mendengar doa penulis selama ini.  Pemerintah memberikan peluang kepada penulis  untuk mengikut kuliah melalui program  Program Guru Sekolah Dasar atau PGSD  Universitas Terbuka atau UT. Penulis pun mengikutinya seraya menjadi guru honorer  dan  menunggu pengangkatan PNS. Selama  5 (lima) tahun penulis menjadi guru honorer, dan  1 (satu) tahun menjadi guru bantu, maka  ahirnya diangkat menjadi PNS, serta tetap ditempatkan di SDN BUKIT MULIA 2. Kemudian penulis  selesaikan juga jenjang  Srata1 atau S.1.
Masalah demi masalah semua telah penulis alama dan lalui, namun masalah baru selalu datang dan pergi. Tidak hanya  masalah dengan anak didik semata, tetapi juga  masalah dengan orang tua, rekan kerja,  dan masyarakat sekitar. Bahkan,  sekarang ini ditambah  lagi dengan masalah desa penulis,  yang saat ini ditambang oleh pihak yang tidak memperhatikan ekosistem dan  lingkungan hidup. Banyak masyarakat desa yang  pindah karena tergusur, sehingga anak didik  penulis  juga ikut pindah sekolah.
Hanya dengan sabar aku selalu bertahan dan tak kan menyerah. Masalah dan kesulitan datangnya dari Tuhan guna menguji umatnya, Kita  manusia hanya dapat a mensyukuri apa adanya, tetap jalani hidup ini, melakukan yang terbaik. Hanya itu yang mampu kita lakukan. “ Dan sesungguhnya kami akan benar benar menguji kalian agar kami mengetahui orang orang yang berjihat dan bersabar di antara kalian “ (Qur an.  Muhammad : 31 ).”.





Post a Comment for "Bagian 6. Buku JMMP-2019. Menulis yang Terdekat : MENULIS PERJALANAN HIDUP DIRI SENDIRI"