DILEMA BUKU DI SEKOLAH


Koran Banjarmasin Post terbitan Jumat, 26 Juli 2019, mengangkat masalah perdagangan buku di sekolah dengan judul berita pada halaman pertamanya” Disdik Waspadai Jual beli Buku di Sekolah”, dan subjudul “ Buku Paket Sudah Disediakan Gratis”. Menurut beritanya, tahun ajaran baru telah berlangsung. Siswa serta orang tua pun menunggu-nunggu pembagian buku pelajaran dari sekolah. Buku itu biasanya gratis karena dananya berasal dari Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Namun, pada tahun lalu banyak orangtua yang harus membeli buku pegangan.  Makanya buku itu banyak tersedia di toko buku. “ Iya itu buku tematik sekolah dasar. Harganya Rp 36 ribu,” ucap seorang penjaga toko buku di Banjarbaru.

Begitulah pernak-pernik berita tentang dunia pendidikan, khususnyanya sekolah, yang seakan tidak ada habius-habisnya untuk diberitakan dan dibicarakan oleh berbagai pihak. Ketika menjelang tahun pelajaran baru, pemberitaan dan pembicaraan terkait dengan masalah PPDB  yang menggunakan sistem zonasi, online, sekolah kekurangan siswa baru, dan sebagainya. Saat mulai pelaksanaan pembelajaran pada awal tahun pelajaran baru, pemberitaan dan pembicaraan menyangkut masalah proses sekolah, termasuk salah satunya tentang penyediaan buku oleh sekolah.
Tentunya, dalam membahas secara mendalam mengenai masalah perbukuan di sekolah, maka perlu melihatnya secara keseluruhaan, mulai dari ‘hulu’ hingga ‘hilir’nya. Mengapa tidak pernah sepi pembahasan dan permasalahan dari urusan perbukuan di sekolah? Salah pokok masalah dalam penyediaan buku di sekolah adalah terkait dengan kurikulum yang digunakan sekolah. Perubahan dari Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)  atau Kurikulum 2006 ke Kurikulum 2013 (K13), menjadi salah satu pokok masalah perbukuan di sekolah akhir-akhir ini.
Selama ini, buku paket atau buku pegangan guru dan siswa menggunakan buku yang berbasis KTSP, lalu saat perubahan ke K13, semua buku yang ada nyaris tidak dapat digunakan sepenuhnya lagi, sehingga sekolah harus menyediakan kembali buku baru yang berdasarkan K13. Sementara itu, anggaran dari dana BOS untuk pembelian buku baru berdasarkan K13 dibatasi prosentasinya dari anggaran BOS sekolah masing-masing, sehingga sekolah tidak mampu memcukupi secara maksimal dan ideal jumlah buku yang semestinya bagi keperluan belajar siswa.
Sementara itu, dalam perhitungan pendapatan utama dari dana BOS didasarkan atas jumlah siswa yang ada di sekolah tersebut. Semakin banyak jumlah siswa yang ada, maka semakin banyak pula mendapatkan anggaran dana BOS dari Pusat. Demikian, sebaliknya, jika jumla siswanya sedikit, maka semakin sedikit pula dana BOS diterima oleh sekolah tersebut. Faktanya dalam beberapa tahun terakhir ini, sekolah –sekolah pada  semua jenjang di Kalimantan Selatan mengalami penurunan jumlah siswa, sehingga semakin mengalami penurunan jumlah dana BOS yang diterima oleh sekolah-sekolah tersebut.
Kondisi dan kenyataan itulah yang kemudian membuka ‘keran’ bagi penyedia buku untuk mengisi kekosongan buku di sekolah, khususnya buku-buku penunjang dan pendamping buku paket tersebut. Buku paket mata pelajaran yang disediakan oleh pihak sekolah memang terbatas, karena adanya pembatasan anggaran dan BOS sendiri untuk pembelian buku paket tersebut. Sedangkan keperluan membeli buku bukan hanya untuk 1-2 mata pelajaran saja, tetapi harus menyediakan untuk semua mata pelajaran yang diajarkan di sekolah tersebut.
Ketersediaan buku pelajaran yang terbatas karena anggaran untuk pembelian buku juga terbatas, sedangkan banyak pihak menuntut adanya peningkatan mutu pendidikan di sekolah. Kondisi ini menjadi dilema tersendiri bagi guru atau sekolah, karena buku paket mata pelajaran saja tidak selengkap yang diharapkan, apalagi buku-buku penunjang yang mendukung buku paket mata pelajaran tersebut. Guru mau tidak mau harus mampu menyikapi dilema tersebut dengan kratifitas dan inovasinya dalam proses pembelajaran sehari-hari agar siswanya mendapatkan layanan pendidikan yang maksimal.

Post a Comment for "DILEMA BUKU DI SEKOLAH"