Tidak ada hari tanpa bermain. Itulah dunia kami,
dunia anak-anak sungai.
Permainannya pun dirancang dan dibuat sendiri,
dari kami ,oleh kami, dan untuk
kami. Bahan untuk permainan anak-anak di
kampung kami berasal dari alam. Alam menyediakan untuk kami
manfaatkan menjadi mainan yang sesuai dengan kreativitas dan selera kami
Salah satu permaianan kami anak laki-laki di kampung selain sepakbola adalah bermain perang-perangan.
Permainan perang-perangan ini dalam praktiknya ada dua macam alat dan tempat. Kami memainkan permainan perang-perangan
ada yang di darat dan ada yang di air atau sungai. Alat
permainan perang-perangan tersebut semuanya diolah dari bahan yang ada di alam
sekitar kampung kami.
Permainan perang-perangan yang mainnya di darat yang dimainkan di areal dekat sawah, alat
tembaknya terbuat dari batang banban, tumbuhan yang banyak tumbuh liar
di tanah yang basah sekitar kampung kami. Banban
ini digunakan sering digunakan oleh masyarakat kampung kami sebagai bahan membuat alat-alat rumah
tangga, seperti bakul, tikar kecil, dan sebagainya. Kami anak-anak memanfaatkan batang bamban
tersebut secukupnya saja. Biasanya dijadikan senjata permainan perang-perangan
dalam bentuk sanapan laras panjang. Warna banban
yang hijau tua sangat cocok untuk permainan perang-perangan tersebut.
Alat yang berbentuk seperti sanapan laras panjang tersebut kami
bentuk sedemikian rupa sesuai dengan
kemauan dan selera. Tidak ada ukuran atau standar baku, kami berkreasi sendiri
dengan apa yang ada dilingkungan. Adapun bahan pendukung lainnya yang berfungsi
melemaparkan pelurunya adalah karet bekas ban sepeda, sedangkan pelurunya
terbuat dari potongan kecil dari pohon bamban yang ukuran sepanjang ibu jari.
Tidak ada yang perlu dibeli untuk membuat alat mainan kami, semuanya diambil
dari alam dan barang bekas.
“ Udin dan Aswan mana Ran, “ tanyaku dengan Masrani yang datang ke
rumahku mengajak membuat senjata untuk perang-perangan esok sore.
“ Udin dan Aswan sebentar lagi datang, “ ujar Masrani.
Benar. Tidak lama kemudian datang Syaifudin yang biasa kami panggil
Udin, yang sudah siap dengan membawa parang
untuk memotong dan membuat senjata sanapan dari pohon banban.
“ Nah, tinggal kita nunggu Aswan saja lagi, “ kata Masrani.
“ Bagaimana, Din, sudah kamu kabari kan Aswan, “ tanyaku dengan
Syaifudin yang diberi tugas mengabari Aswan untuk kegiatan sore ini.
“ Sudah, Lan, “ jawab Syaifudin.
Saat kami berbincang –bincang, dari kejauhan terlihat Aswan berjalan
kea rah kami yang menunggu di depan rumahku.
“ Wan, kamu tidak membawa parangkah?, “ tanyaku dengan Aswan yang
terlihat tidak membawa alat apapun.
“ Ada Lan, aku bawa lading ini
saja, “ jawab Aswan seraya menunjukkan sebilah lading. Lading itu semacam pisau dapur yang biasa dipakai ibu di
dapaur.
“ Ayo, kita berangkat , “ ajakku dengan kawan-kawan yang sudah lengkap.
“ Kemana kita cari pohon banbannya
Ran, “ tanyaku dengan Masrani.
“ Kita ke tanah Kai Lunang
saja, “ ujar Masrani dan diiyakan oleh kawan-kawan yang lain.
Kami pun berengkat menuju tanah Kai
Lunang yang tidak jauh dari perkampungan kami. Kai Lunang dikenal masyarakat kampung kami memiliki tanah yang
luas, dan diantara tanah Kai Lunang
itu banyak ditumbuhi rumpun tanaman banban
yang kami cari. Sebutan kai di
kampung kami berarti kakek , atau yang sudah tua atau punya cucu.
Sesampai di tempat tujuan, aku dan kawan-kawan mencari pohon banban
yang sesuai dengan kreteria untuk membuat sanapan, antara lain batangnya besar,
sudah tua, dan lurus. Tidak perlu repot-repot kami memilih batang banban yang
dicari sesuai kreteria, karena dalam rumpun banban itu banyak tersedia bahan
yang kami cari.
“ Hati-hati Din memotongnya, “ ujarku dengan Syaifudin yang bertugas
memotong batang banban.
“ Iya, Lan, “ kata Syaifudin menjawab sambil memotong batang banban yang menurutnya sesuai kreteria.
Kami pun asyik dengan tugasnya masing-masing. Syaifudin bertugas
menebang batang banban, aku mengambil
batang banban yang sudah ditebang, sedangkan Masrani dan Aswan
membersihkan batang banban yang sudah ditembang tersebut dan mengumpulkannya.
“ Bagaimana, Ran, sudah
cukupkah, “ ujarku dengan Masrani yang sedang menghitung batang banban yang
sudah ditebang.
“ Sudah cukup, Lan” jawabnya.
Selanjutnya, aku memberitahu Syaifudin yang masih memilih dan menembang
batang banban.
“ Din, sudah cukup dulu menebang banbannya,
“ ujarku dengan Syaifudin.
“ Iya, Lan, satu lagi yang mau ditebang,tanggung ada yang bagus nah, “ jawab Syaifudin yang sedang menebang batang banban.
Sore itu aku dan kawan-kawan membuat sanapan yang terbuat dari batang banban yang kami cari sendiri. Masing-masing
membuat sanapan yang sesuai dengan selera dan kesukaan sendiri, tidak ada
gambar yang jadi contoh membuat sanapan, hanya imajinasi kami saja yang
bekerja. Tidak berapa lama kemudian sanapan dari batang banban sudah selesai kami buat, tinggal membuat pelurunya yang juga
dibuat dari batang banban yang kecil
atau bekas potongan membuat sanapan banban
sebelumnya.
****
Post a Comment for "Cerpen Kami Anak Sungai : Bagian 18. Bermain Perang-perangan (1)"