Cerpen Kami Anak Sungai : Bagian 18. Bermain Perang-perangan (1)


Tidak ada hari tanpa bermain. Itulah dunia  kami,  dunia  anak-anak sungai. Permainannya pun dirancang dan dibuat sendiri,  dari kami ,oleh kami, dan untuk  kami. Bahan untuk permainan anak-anak di  kampung kami  berasal  dari alam. Alam menyediakan untuk kami manfaatkan menjadi mainan yang sesuai dengan kreativitas  dan selera kami
Salah satu permaianan kami anak laki-laki di kampung selain  sepakbola adalah bermain perang-perangan. Permainan perang-perangan ini dalam praktiknya ada dua macam alat  dan tempat. Kami memainkan permainan perang-perangan ada yang   di darat  dan ada yang di air atau sungai. Alat permainan perang-perangan tersebut semuanya diolah dari bahan yang ada di alam sekitar kampung kami.

Permainan perang-perangan yang mainnya di darat  yang dimainkan di areal dekat sawah, alat tembaknya  terbuat dari batang banban, tumbuhan yang banyak tumbuh liar di tanah yang basah sekitar kampung kami. Banban ini digunakan sering digunakan oleh masyarakat kampung  kami sebagai bahan membuat alat-alat rumah tangga, seperti bakul, tikar kecil, dan sebagainya.  Kami anak-anak memanfaatkan batang bamban tersebut secukupnya saja. Biasanya dijadikan senjata permainan perang-perangan dalam bentuk sanapan laras panjang. Warna banban yang hijau tua sangat cocok untuk permainan perang-perangan tersebut.
Alat yang berbentuk seperti sanapan laras panjang tersebut kami bentuk  sedemikian rupa sesuai dengan kemauan dan selera. Tidak ada ukuran atau standar baku, kami berkreasi sendiri dengan apa yang ada dilingkungan. Adapun bahan pendukung lainnya yang berfungsi melemaparkan pelurunya adalah karet bekas ban sepeda, sedangkan pelurunya terbuat dari potongan kecil dari pohon bamban yang ukuran sepanjang ibu jari. Tidak ada yang perlu dibeli untuk membuat alat mainan kami, semuanya diambil dari alam dan barang bekas.
“ Udin dan Aswan mana Ran, “ tanyaku dengan Masrani yang datang ke rumahku mengajak membuat senjata untuk perang-perangan esok sore.
“ Udin dan Aswan sebentar lagi datang, “ ujar Masrani.
Benar. Tidak lama kemudian datang Syaifudin yang biasa kami panggil Udin, yang sudah siap dengan membawa parang untuk memotong dan membuat senjata sanapan dari pohon banban.
“ Nah, tinggal kita nunggu Aswan saja lagi, “ kata Masrani.
“ Bagaimana, Din, sudah kamu kabari kan Aswan, “ tanyaku dengan Syaifudin yang diberi tugas mengabari Aswan untuk kegiatan sore ini.
“ Sudah, Lan,  “ jawab Syaifudin.
Saat kami berbincang –bincang, dari kejauhan terlihat Aswan berjalan kea rah kami yang menunggu di depan rumahku.
“ Wan, kamu tidak membawa parangkah?, “ tanyaku dengan Aswan yang terlihat tidak membawa alat apapun.
“ Ada Lan, aku bawa lading ini saja, “ jawab Aswan seraya menunjukkan sebilah lading. Lading itu semacam pisau dapur yang biasa dipakai ibu di dapaur.
“ Ayo, kita berangkat , “ ajakku dengan kawan-kawan yang sudah lengkap.
“ Kemana kita cari pohon banbannya Ran, “ tanyaku dengan Masrani.
“ Kita ke tanah Kai Lunang saja, “ ujar Masrani dan diiyakan oleh kawan-kawan yang lain.
Kami pun berengkat menuju tanah Kai Lunang yang tidak jauh dari perkampungan kami. Kai Lunang dikenal masyarakat kampung kami memiliki tanah yang luas, dan diantara tanah Kai Lunang itu banyak ditumbuhi rumpun tanaman banban yang kami cari. Sebutan kai di kampung kami berarti kakek , atau yang sudah tua  atau punya cucu.
Sesampai di tempat tujuan, aku dan kawan-kawan mencari pohon banban yang sesuai dengan kreteria untuk membuat sanapan, antara lain batangnya besar, sudah tua, dan lurus. Tidak perlu repot-repot kami memilih batang banban yang dicari sesuai kreteria, karena dalam rumpun banban itu banyak tersedia bahan yang kami cari.
“ Hati-hati Din memotongnya, “ ujarku dengan Syaifudin yang bertugas memotong batang banban.
“ Iya, Lan, “ kata Syaifudin menjawab sambil memotong batang banban yang menurutnya sesuai kreteria.
Kami pun asyik dengan tugasnya masing-masing. Syaifudin bertugas menebang batang banban, aku mengambil  batang banban yang sudah ditebang, sedangkan Masrani dan Aswan membersihkan batang banban yang sudah ditembang tersebut dan mengumpulkannya.
“ Bagaimana,  Ran, sudah cukupkah, “ ujarku dengan Masrani yang sedang menghitung batang banban yang sudah ditebang.
“ Sudah cukup, Lan” jawabnya.
Selanjutnya, aku memberitahu Syaifudin yang masih memilih dan menembang batang banban.
“ Din, sudah cukup dulu menebang banbannya, “ ujarku  dengan Syaifudin.
“ Iya, Lan, satu lagi yang mau ditebang,tanggung ada yang bagus nah,  “ jawab Syaifudin yang sedang menebang batang banban.
Sore itu aku dan kawan-kawan membuat sanapan yang terbuat dari batang banban yang kami cari sendiri. Masing-masing membuat sanapan yang sesuai dengan selera dan kesukaan sendiri, tidak ada gambar yang jadi contoh membuat sanapan, hanya imajinasi kami saja yang bekerja. Tidak berapa lama kemudian sanapan dari batang banban sudah selesai kami buat, tinggal membuat pelurunya yang juga dibuat dari batang banban yang kecil atau bekas potongan membuat sanapan banban sebelumnya.

****

Post a Comment for "Cerpen Kami Anak Sungai : Bagian 18. Bermain Perang-perangan (1)"