Beberapa waktu terakhir
ini, marak diberitakan dari berbagai media mengenai kasus pelecehan seksual
yang dilakukan oleh seorang oknum guru agama SMP yang terjadi di Batang, Jawa
Tengah. Menurut Tribunnews.com dalam judul beritanya yang dimuat pada 31
Agustus 2022’ Kasus Guru Agana SMP Cabuli Siswanya di Batang, Diduga Ada 30
Korban, Modus Lakukan Tes Kejujuran’.
Kasus serupa
di atas mengingatkan pada pemberitaan
Banjarmasin
Post, Rabu tanggal 9 Mei 2018, pada
halaman utamanya mengangkat judul’ Korban Diancam Tidak Naik Kelas’
dengan subjudul ‘ Guru Cabuli 20 Murid di Ruang Kelas dan
Rumah Dinas’. BPost saat itu memberitakan
mengenai kasus pelecehan seksual oleh oknum
guru sekolah dasar di Kecamatan Cempaka, Banjarbaru Kalimantan Selatan.
Kasus pelecehan
seksual yang diuangkapkan di atas
hanyalah sebagian kecil dari kasus yang ada, karena menurut menurut data dari
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) bahwa pada
Januari 2022 saja sudah tercatat 797 anak menjadi korban kekerasan seksual.
Sementera itu, menurut data dari Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sebagaimana dilansir oleh Detiknews pada 28
Desember 2021, bahwa kekerasan seksual di lingkungan Pendidikan yang terjadi
selama 2021 menyebutkan 55% pelaku tindak kekerasan tersebut adalah guru.
Sungguh miris
dan tragis,
bagaimana seorang guru begitu teganya
mencabuli siswanya sendiri, siswa yang seharusnya dan semestinya dilindungi
dengan baik dan penuh kasih sayang. Namun, dibalik profesi mulia yang
disandangnya, seorang oknum guru menyimpan sifat dan perilaku bejat yang menyimpang. Kepercayaan
orangtua kepada sekolah yang selama ini dianggap amanah, aman, nyaman,
dan menyenangkan bagi anak mereka, ternyata dikhianati oleh seorang oknum
guru yang tidak senonoh. Ternyata, guru
yang berpredikat sebagai pendidik tidak memiliki ketahanan diri dalam menjaga
moral dan harkat dan martabat profesinya yang luhur sesuai dengan nilai-nilai agama
dan sosial.
Pelecehan seksual terhadap siapa
pun merupakan bentuk perbuatan yang tidak manusiawi dan melanggar norma agama
dan sosial, terlebih lagi kepada anak
yang tidak berdosa dan tidak mengerti apa-apa. Perlindungan terhadap anak
yang masih polos dan sedang menuntut ilmu di sekolah sepenuhnya ada di bawah
tanggung jawab pihak sekolah, khususnya para guru
yang mendidik dan mengajarnya. Ketika terjadi tindak pelecehan seksual, tindak kekerasan atau apapun bentuk perlakuan yang tidak menyenangkan
dan perbuatan
yang menyakitkan
lainnya terhadap diri mereka, maka tentunya perlindungan dan pengayoman
terhadap peserta didik tersebut sangat lemah.
Sekolah yang telah
memiliki pola pengawasan
yang sangat ketat pun terkadang
dapat saja tidak mampu mencegah tindak pelecehan
seksual terhadap peserta didiknya, karena di lingkungan sekolah tersebut telah
terjadi apa yang diistilahkan ‘pagar makan tanaman’, bahkan dalam bahasa yang
lebih ekstrim disebut sebagai ‘predator’
atau pemangsa. Tindak pelecehan seksual di sekolah yang terselebung dan berbalut
seragam profesi guru merupakan bentuk ancaman yang sangat mengerikan bagi
anak. Kepercayaan dan dukungan orangtua
yang mempercayakan anaknya di sekolah tersebut, telah dilanggar dan dikabiri oleh oknum yang
bertopeng yang berperilaku sebagai predator
terhadap anak didiknya sendiri.
Sebenarnya, Pemerintah
melalui Kemendikbud Ristek sejak tahun 2015 telah mengeluarkan regulasi untuk
mencegah dan menanggulangi berbagai tindak kekerasan terhadap anak di sekolah,
termasuk tindak pelecehan seksual. Hal tersebut telah dituangkan dalam
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 82 Tahun 2015 tentang
Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Satuan Pendidikan. Dalam
regulasi ini mengeatur secara rinci bagaimana langkah dan strategi sekolah
dalam menghadapi berbagai tindak kekerasan, baik secara prepentif maupun
kuratif, seperti membentuk gugus tugas pencegahan kekerasan di sekolah.
Namun demikian,
dalam pelaksanaan regulasi tersebut di atas masih jauh dari harapan. Tidak
banyak sekolah yang membentuk gugus tugas tersebut, meski pembentukan gugus
tugas diamanatkan dalam Pasal 8 huruf I dari permendikbud tersbut. Selain itu, faktor
pengawasan terhadap satuan Pendidikan
oleh pihak terkait juga masih lemah, sehingga menjadi penyebab kasus-kasus
kekerasan atau pelecehan seksual masih
saja terjadi di satuan Pendidikan, baik sekolah, madrasah, dan sebagainya.
Sebagaimana
dipaparkan di atas, bahwa tindak pelecehan seksual dapat dikatakan
sebagai fenomena gunung es. Hal tersebut terjadi karena
adanya keengganan
pihak korban, baik anak maupun orangtua, untuk melaporkan perbuatan yang aib tersebut, sehingga menyulitkan pihak berwajib untuk
mengungkap kejahatan tersebut secara terbuka dan tuntas. Masih banyak anak atau
peserta didik yang menjadi korban tindak pelecehan seksual, namun
kasus mereka tidak terekspose dan tidak
ditangani oleh pihak berwajib.
Bagaimanapun pihak berwajib dan
pihak terkait lainnya akan sangat sulit masuk dan mengungkap secara tuntas
kejahatan pelecehan seksual ini, apabila
pihak korban dan keluarganya tertutup
atau setidaknya tidak mau memperpanjang dan mengungkap kasusnya sampai
tuntas. Kesadaran dan niat dan itikad yang baik dari pihak korban dan keluarganya
akan banyak membantu pihak berwajib untuk mengungkap dan selanjutnya mengadili
pelakunya dengan hukuman yang seadil-adilnya sesuai dengan perbuatan yang telah
dilakukannya. Dengan terungkapnya kasus pelecehan seksual terhadap anak secara
terang benderang akan memberikan pelajaran berharga bagi orangtua dan
masyarakat dalam memberikan perlindungan kepada anak secara optimal.
Tindak pelecehan seksual dan tindak kekerasan terhadap peserta didik dengan segala bentuk dan jenisnya,
merupakan perbuatan yang sudah
pasti dapat menyuramkan masa depan anak yang
menjadi korban, dan sudah tentu juga masa depan bangsa dan negara kita
sendiri. Kini, saatnya dunia pendidikan Indonesia untuk memberikan
perlindungan dan kenyaman bagi semua anak Indonesia, khususnya yang sedang
menuntut ilmu di sekolah dan lembaga pendidikan lainya, agar mereka tidak ada lagi yang menjadi korban tindak
pelecehan seksual, tindak kekerasan, dan bentuk kejahatan lainnya oleh
siapapun dan dengan cara apapun. Anak adalah wajah masa depan Indonesia.
Post a Comment for "OKNUM GURU, PAGAR MAKAN TANAMAN"