GURU PENGGERAK vs GURU ‘ZONA NYAMAN’ alias 'WUUEENAK'



Sekitar tahun 2021 yang lalu, dalam suatu seleksi peserta Program Sekolah Penggerak (PSP) di Disdikbud Tala, seorang kepala sekolah SD yang mendaftar program tersebut mengeluh karena mendapat ‘tekanan’ dari beberapa oknum guru di sekolahnya. Mereka menginginkan agar kepala sekolahnya tersebut tidak mendaftar, dengan alasan jika nanti kepala sekolahnya lulus dan mengikuti program tersebut akan membebani mereka dengan tugas-tugas sebagai bagian dari kegiatan PSP tersebut.

Entah apa yang ada dalam benak pikiran beberapa oknum guru yang menolak keinginan luhur kepala sekolah yang berkeinginan kuat untuk memajukan sekolahnya melalui kegiatan PSP. Dari informasi yang disampaikan oleh kepala sekolah, bahwa beberapa oknum gurunya yang menolak itu berasumsi dengan kegiatan guru yang mengikuti program Pendidikan Guru Penggerak (PGP) yang sangat banyak mengerjakan tugas dan kegiatan, baik secara daring maupun luring. Dari asumsi itulah kemudian mereka berprasangka bahwa akan terbebani pula  oleh tugas dan kegiatan kepala sekolah yang mengikuti PSP, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Demikian salah satu kasus  yang terjadi ketika kepala sekolah  ingin mendaftar Program Sekolah Penggerak (PSP) guna meningkatkan kompetensi diri dan mutu pendidikan di sekolahnya. Tetapi niat baik kepala sekolah yang bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan di sekolah  tidak berbanding lurus dengan apa yang ada di benak pemikiran beberapa oknum guru yang ‘termakan’ asumsi dan prasangka buruk,  meski belum dialami atau dijalaninya sendiri.

Lalu mengapa beberapa oknum guru bersikap demikian? 

Adanya pembelajaran dilaksanakan secara daring atau tanpa tatap muka akibat musibah COVID-19 yang melanda sekitar 2 tahun lebih telah mampu membuat pola sikap, fikir, dan perilaku guru berubah. Sebagaimana dikatahui bersama, bahwa ketika pandemi  itu pembelajaran pada umumnya dilaksankan secara daring dengan menggunakan berbagai aplikasi yang digunakan, Selain itu, pembelajaran juga dilakukan  dengan pemberian tugas mandiri bagi siswa tanpa tatap muka sebagaimana biasanya.

Dampak perubahan pola pembelajaran masa pandemi yang demikian, akhirnya terbawa hingga pelaksanaan pembelajaran tatap muka diperbolehkan kembali. Kondisi yang demikian membuat perubahan dengan pola mengajar  dan semangat mengajar. Ada guru yang antusias dan bersemangat melaksanakan pembelajaran tatap muka pasca pandemi, tetapi ada sebagian guru yang sudah merasa nyaman dengan kondisi selama pandemi. Suasana pembelajaran pada pandemi yang lebih santai dan tanpa dibatasi oleh berbagai aturan masuk sekolah yang ketat menjadi ‘zona nyaman’ bagi sebagian guru.

Sementara itu, pada masa pandemi Kemdikbudristek meluncurkan program Pendidikan Guru Penggerak (PGP) yang pendaftaran hingga kegiatan pendidikannya lebih didominasi secara daring. Program ini diluncurkan  sejak 2020 sebagai bagian dari gerakan transformasi pendidikan yang bertajuk Merdeka Belajar dari Kemdikbudristek yang dipimpin oleh Nadiem Anwar Makarim. Pada hakikatnya semua guru yang dapat menjadi  Guru Penggerak, baik guru yang berstatus ASN maupun Non ASN dari sekolah negeri maupun swasta, pada satuan pendidikan formal jenjang TK, SD, SMP, SMA, SMK, dan SLB yang sudah mempunyai Surat Keputusan (SK) mengajar. Adapun persyaratan lainnya antara lain minimal telah mengajar selama 5 (lima) tahun, memiliki akun Dapodik, minimal kualifikasi pendidikan D4 atau S1 dan sebagainya.

Dalam proses rekrutmen Guru Penggerak ini melalui 2 (dua) sesi. Sesi pertama penyariangan CV dan esai, dan apabila lolos dilanjutkan dengan sesi kedua, yaitu simulasi mengajar dan wawancara. Setelah lolos kedua tersebut, dilanjutkan dengan kegiatan Pendidikan Guru Penggerak (PGP) selama beberapa bulan. Pada masa awalnya, lama Pendidikan Guru Penggerak (PGP) selama 9 bulan, sedangkan sekarang ini pelaksanaannya selama 6 bulan dengan program pelatihan daring, lokakarya, konferensi, dan pendampingan.

Seleksi yang ketat dan pelatihan secara daring menjadikan guru yang mengikuti program ini memiliki motivasi kuat yang mendorong transformasi pendidikan Indonesia menuju kondisi yang lebih baik. Melalui Guru Penggerak ini akan lahir pemimpin pendidikan Indonesia yang diharapkan mampu melahirkan generasi unggul, karena pembelajaran yang mereka kembangkan adalah pembelajaran yang berpusat pada sisiwa sehingga mampu mendorong tumbuh kembangnya siswa  secara holistik. Guru Penggerak menjadi role model dan agen utama perubahan dari transformasi ekosistem dunia pendidikan Indonesia untuk mewujudkan profil Pelajar Pancasila.

Perubahan paradigma pembelajaran yang sedemikian besar yang dialami dan dilakoni oleh guru-guru hasil Pendidikan Guru Penggerak (PGP) lahir dari jiwa dan semangat guru yang merasa terpanggil untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik. Pada umumnya, para guru yang mengikuti Pendidikan Guru Penggerak (PGP) atas inisiatif dan keinginan diri sendiri, bukan diperintah oleh pihak lain, baik itu kepala sekolah, pengawas, dan sebagainya. Kesadaran, motivasi diri, dan semangat untuk terus belajar dan belajar dalam rangka meningkatkan kompetensi diri menjadi kunci keberhasilan dalam mengikuti program tersebut.  

Kondisi yang bertolak belakang terjadi pada beberapa oknum guru  yang ‘ogah’ untuk melakukan perubahan dan cenderung bersikap mempertahankan ‘status quo’ yang ada, sebagaimana secuil kasus di atas. Adapun sebagian kecil oknum guru yang ‘ogah’ tersebut pada umumnya guru ASN, senior,  gagap teknologi alias gaptek, dan sudah menerima tunjangan sertifikasi guru. Bagi mereka sudah cukup dengan yang ada dan cenderung berupaya mempertahankan ‘status quo’ sehingga relatif sulit menerima perubahan ke arah yang lebih baik dalam pembelajaran, terlebih lagi jika bersangkut paut dengan komputer, aplikasi, dan berbagai kemajuan teknologi informasi lainnya.

Memang, masih banyak guru-guru senior yang masih punya motivasi dan semangat untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik, sehingga memberikan dorongan dan dukungan kepada guru-guru junior untuk melakukan perubahan itu. Hal inilah yang sesuai dengan semboyan pendidikan Nasional  sebagaimana diajarkan oleh Ki Hajar Dewantara, yaitu Tut Wuri Handayani. Guru senior memberikan motivasi, semangat, dan mbimbingan kepada guru junior untuk melakukan perubahan yang positif bagi kemajuan dunia pendidikan.

Hadirnya program-program inovatif dari Kemdikbudristek guna meningkatkan kompetensi guru Indonesia sudah semestinya patut disambut dengan baik, seperti Pendidikan Guru Penggerak (PGP), Sekolah Penggerak (SP), dan sebagainya. Selain itu, perlu adanya saling mendukung dan menguatkan di kalangan guru sekolah demi kemajuan pendidikan pasca pandemi dan masa mendatang. Semoga.

 

 

Post a Comment for "GURU PENGGERAK vs GURU ‘ZONA NYAMAN’ alias 'WUUEENAK'"