Entah apa yang ada dalam benak pikiran beberapa oknum guru yang menolak keinginan luhur kepala sekolah yang berkeinginan kuat untuk memajukan sekolahnya melalui kegiatan PSP. Dari informasi yang disampaikan oleh kepala sekolah, bahwa beberapa oknum gurunya yang menolak itu berasumsi dengan kegiatan guru yang mengikuti program Pendidikan Guru Penggerak (PGP) yang sangat banyak mengerjakan tugas dan kegiatan, baik secara daring maupun luring. Dari asumsi itulah kemudian mereka berprasangka bahwa akan terbebani pula oleh tugas dan kegiatan kepala sekolah yang mengikuti PSP, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Demikian
salah satu kasus yang terjadi ketika kepala
sekolah ingin mendaftar Program Sekolah
Penggerak (PSP) guna meningkatkan kompetensi diri dan mutu pendidikan di
sekolahnya. Tetapi niat baik kepala sekolah yang bertujuan untuk meningkatkan
mutu pendidikan di sekolah tidak
berbanding lurus dengan apa yang ada di benak pemikiran beberapa oknum guru
yang ‘termakan’ asumsi dan prasangka buruk, meski belum dialami atau dijalaninya
sendiri.
Lalu mengapa beberapa oknum guru bersikap demikian?
Adanya pembelajaran dilaksanakan secara daring atau tanpa tatap muka akibat musibah COVID-19 yang melanda sekitar 2 tahun lebih telah mampu membuat pola sikap, fikir, dan perilaku guru berubah. Sebagaimana dikatahui bersama, bahwa ketika pandemi itu pembelajaran pada umumnya dilaksankan secara daring dengan menggunakan berbagai aplikasi yang digunakan, Selain itu, pembelajaran juga dilakukan dengan pemberian tugas mandiri bagi siswa tanpa tatap muka sebagaimana biasanya.
Dampak
perubahan pola pembelajaran masa pandemi yang demikian, akhirnya terbawa hingga
pelaksanaan pembelajaran tatap muka diperbolehkan kembali. Kondisi yang
demikian membuat perubahan dengan pola mengajar
dan semangat mengajar. Ada guru yang antusias dan bersemangat
melaksanakan pembelajaran tatap muka pasca pandemi, tetapi ada sebagian guru
yang sudah merasa nyaman dengan kondisi selama pandemi. Suasana pembelajaran
pada pandemi yang lebih santai dan tanpa dibatasi oleh berbagai aturan masuk
sekolah yang ketat menjadi ‘zona nyaman’
bagi sebagian guru.
Seleksi
yang ketat dan pelatihan secara daring menjadikan guru yang mengikuti program
ini memiliki motivasi kuat yang mendorong transformasi pendidikan Indonesia
menuju kondisi yang lebih baik. Melalui Guru Penggerak ini akan lahir pemimpin
pendidikan Indonesia yang diharapkan mampu melahirkan generasi unggul, karena
pembelajaran yang mereka kembangkan adalah pembelajaran yang berpusat pada
sisiwa sehingga mampu mendorong tumbuh kembangnya siswa secara holistik. Guru Penggerak menjadi role model dan agen utama perubahan dari
transformasi ekosistem dunia pendidikan Indonesia untuk mewujudkan profil
Pelajar Pancasila.
Kondisi
yang bertolak belakang terjadi pada beberapa oknum guru yang ‘ogah’
untuk melakukan perubahan dan cenderung bersikap mempertahankan ‘status quo’ yang ada, sebagaimana secuil
kasus di atas. Adapun sebagian kecil oknum guru yang ‘ogah’ tersebut pada umumnya guru ASN, senior, gagap teknologi
alias gaptek, dan sudah menerima
tunjangan sertifikasi guru. Bagi mereka sudah cukup dengan yang ada dan
cenderung berupaya mempertahankan ‘status
quo’ sehingga relatif sulit menerima perubahan ke arah yang lebih baik
dalam pembelajaran, terlebih lagi jika bersangkut paut dengan komputer, aplikasi, dan berbagai
kemajuan teknologi informasi lainnya.
Post a Comment for "GURU PENGGERAK vs GURU ‘ZONA NYAMAN’ alias 'WUUEENAK'"