Membaca berita koran Banjarmasin
Post, Sabtu, 2 Maret 2019, yang tercantum pada halaman 10, dengan judul “ Delapan Siswa Terancam Diberhentikan “.
Dalam awal berita koran tersebut, Suriansyah mendadak cemas, Kamis (28/2) sore
kemarin. Kecemasannya tersebut bukan dikeranakan anaknya tak kunjung pulang ke
rumah. Melainkan terkait nasib pendidikan putranya yang mendadak diduga akan
diberhentikan sekolah. “ Kami sebetulnya menerima saja kalau dia salah. Tapi,
haruskah hanya karena kesalahan kecil,
kemudian diberhentikan? “ ungkap Suriansyah.
Menurut ‘Story Highlights’ koran Banjarmasin Post ini, ada 4 (empat) poin
yang disebutkan dalam beritanya tersebut, yaitu (1) SMAN 5 Banjarmasin
memberlakukan sistem poin bagi siswa yang melakukan kesalahan, (2) Batas poin
tertinggi 200, (3) Pihak sekolah mengakui sebagai shock terapi, dan (4) Siswa
yang melakukan kesalahan sebelumnya dibina.
Konteks permasalahan yang dibahas
koran di atas, berkenaan dengan adanya sanski dikeluarkan dari sekolah bagi
siswa yang mencapai atau melampaui batas tolensi sesuai ketentuan yang berlaku
di sekolah tersebut. Pelanggaran yang selama ini dilakukan oleh siswa dicatat
dan dikonversi dengan poin yang ada, kemudian jumlah komulatif pelanggaran
selama kurun waktu tertentu akan menjadi dasar pemberian sanksi kepada siswa.
Semakin banyak dan berat pelanggaran yang dilakukan oleh siswa terhadap tata
tertib sekolah, maka semakin banyak poin pelanggaran yang dikumpulkannya.
Perlukan
hukuman dalam pendidikan, khususnya dalam proses pembelajaran? Hukuman atau
apapun namanya dalam proses pembelajaran pada hakikatnya tidak dibenarkan
apalagi hukuman itu menimbulkan penderitaan fisik dan psikis bagi siswa. Namun,
dalam praktiknya hukuman yang dijatuhkan oleh seorang pendidik masih dapat
ditolerir selama hal tersebut dalam kerangka mendidik dan memberi peringatan
untuk tidak mengulangi lagi atau membuat siswa lainnya tidak melakukan
perbuatan tersebut.
Hasil
pendidikan yang didalam prosesnya menggunakan hukuman sebagai bagian dari
proses pendidikan tersebut akan melahirkan siswa yang memiliki kepribadian dan sikap mental
pengecut dan kurang percaya diri. Siswa merupakan aset masa depan yang dalam
proses pembelajarannya mendapatkan kasih sayang yang penuh dan bebas dari
tekanan fisik dan psikis.
Tidak
adanya hukuman dalam dunia pendidikan, bukan berarti sekolah tidak boleh mengambil
sikap dan tindakan, apabila ada siswa melakukan pelanggaran terhadap aturan dan
ketentuan yang berlaku. Melalui tata tertib dan ketentuan yang berlaku di
sekolah, maka sekolah dibenarkan memberikan peringatan dalam batas yang wajar
dan mendidik kepada siswanya untuk tidak mengulangi perbuatan yang tidak
dibenarkan oleh aturan dan ketantuan yang berlaku. Sekolah merupakan institusi yang mengarahkan
siswanya menjadi manusia yang berbudaya dan beradab.
Post a Comment for "MENGAPA SISWA SAMPAI DIHUKUM ?"