KEKERASAN TERHADAP SISWA, TRAUMA MASA DEPANNYA


Dalam pemberitaan koran Banjarmasin Post, pada Sabtu, 19 Oktober 2019, halaman 5 diturunkan berita dengan judul “ Motivator Pukul Siswa Jadi Tersangka”.  Menurut beritanya, AS , seorang motivator digital marketing sudah ditetapkan tersangka dan ditangkap jajaran Polres Malang Kota. AS merupakan pelaku pemukulan terhadap 10 siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Muhammadiyah 2 Kota Malang saat menjadi motivator dalam Seminar Motivasi Berwirausaha  di sekolah tersebut.
Semendatara  itu, dalam sebuah paparan tulisan artikel yang dimuat oleh koran Banjarmasin Post, Sabtu, tanggal  30 Maret 2019, dengan judul “ Kekerasan di Sekolah Masalah Kronis Pendidikan Kita” oleh Moh. Fajaruddin Atsnan”,  memaparkan tentang wajah dunia pendidikan kita yang kembali tercoreng oleh tinda kekerasan yang dilakukan oleh oknum guru pada salah satu sekolah di Kota Yogyakarta.

Tindak kekerasan  terhadap siswa dengan segala bentuk dan jenisnya adalah perbuatan yang dapat menyuramkan masa depan bangsa in. Kini,  saatnya  dunia pendidikan Indonesia untuk memberikan perlindungan dan kenyaman bagi semua anak Indonesia, khususnya yang sedang menuntut ilmu di lembaga pendidikan, agar mereka  tidak ada lagi yang menjadi korban tindak kekerasan, dan bentuk kejahatan lainnya yang dilakukan oleh siapa pun, terlebih guru atau pihak lain sebagaimana  pemberitaan di atas.
Bagi guru, tentunya tidak akan  bertindak diluar kaidah yang menjadi batasan dan etika profesinya. Guru yang menjatuhkan hukuman yang bersifat fisik yang dapat menyebabkan penderitaan fisik maupun psikis bagi siswanya.  Hukuman yang dijatuhkan kepada siswa sebatas hukuman yang bersifat mendidik dan mengingatkan atas kesalahannya, sehingga dikemudian hari tidak mengulangi lagi perbuatan tersebut.
Banyak cara dan alternatif yang dapat digunakan untuk memberikan ‘pelajaran’ kepada siswa yang
melanggara tata tertib sekolah lainnya yang tidak menyebabkan penderitaan fisik dan psikis. Persoalannya, sejauhmana guru mampu mengendalikan dirinya untuk tidak bersikap dan bertindak profesional bukan mengedepankan emosional ketika menghadapi siswa  yang melanggar atau tidak mematuhi aturan dan ketentuan di sekolah yang berlaku.
Profesionalisme guru dibangun melalui penguasaan kompetensi-kompetensi yang secara nyata diperlukan dalam menyelesaikan pekerjaannya sebagai guru. Kompetensi-kompetensi penting jabatan guru tersebut adalah kompetensi bidang substansi atau bidang studi, kompetensi bidang pembelajaran, kompetensi bidang pendidikan nilai dan bimbingan serta kompetensi bidang hubungan dan pelayanan/pengabdian masyarakat. Pengembangan profesionalisme guru meliputi peningkatan kompetensi, peningkatan kinerja (performance) dan kesejahteraannya. Guru sebagai profesional dituntut untuk senatiasa meningkatkan kemampuan, wawasan dan kreativitasnya” masing-masing yang saling mempengaruhi.
Lalu, perlukah hukuman dalam pendidikan, khususnya dalam proses pembelajaran? Hukuman atau apapun namanya dalam proses pembelajaran pada hakikatnya tidak dibenarkan apalagi hukuman itu menimbulkan penderitaan fisik dan psikis bagi siswa. Namun, dalam praktiknya hukuman yang dijatuhkan oleh seorang guru  masih dapat ditolerir selama hal tersebut dalam kerangka mendidik dan memberi peringatan untuk tidak mengulangi lagi atau membuat siswa lainnya tidak melakukan perbuatan tersebut.
Tidak adanya hukuman dalam dunia pendidikan,  bukan berarti sekolah tidak boleh mengambil sikap dan tindakan, apabila ada siswa melakukan pelanggaran terhadap aturan dan ketentuan yang berlaku. Melalui tata tertib dan ketentuan yang berlaku di sekolah, maka sekolah dibenarkan memberikan peringatan dalam batas yang wajar dan mendidik kepada siswanya untuk tidak mengulangi perbuatan yang tidak dibenarkan oleh aturan dan ketantuan yang berlaku.  Sekolah merupakan institusi yang mengarahkan siswanya menjadi manusia yang berbudaya dan beradab.


Post a Comment for "KEKERASAN TERHADAP SISWA, TRAUMA MASA DEPANNYA"