KRISIS KEPALA SEKOLAH, SIAPA YANG SALAH?

Menarik pemberitaan koran BPost dalam seminggu terakhir yang mengangkat topik kekurangan kepala sekolah di Kota Banjarmasin dan beberapa daerah lainnya di Kalimantan Selatan. Selama dua hari berturut BPost mengangkat topik masalah tersebut sebagaimana dimuat pada Kamis (19/1)/2023 dan Jumat (20/1/2023), serta sebelumnya, koran tersebut pernah memuat pula pada Rabu (21/12/2022). Jika mencermati pemberitaan koran BPost beberapa tahun sebelumnya, masalah kekurangan kepala sekolah  di Kota Banjarmasin telah diberitakannya pada Jumat (19/8/2019) dengan judul  Banjarmasin Kekurangan 30 Kepala SDN.

Pada pemberitaan tersebut di atas, salah satu faktor penyebab kekurangan kepala sekolah di Kota Banjarmasin adalah adanya terbentur pada persyaratan harus memiliki sertifikat Guru Penggerak, sehingga banyak calon kepala sekolah yang tidak dapat memenuhi persyaratan tersebut. Adanya persyaratan sertifikat Guru Penggerak tersebut tercantum dalam Permendikbud Ristek Nomor 40 Tahun 2021 tentang  Penugasan Guru Sebagai Kepala Sekolah pada Bab II, Pasal 2, Ayat (1) c, yang isinya berbunyi “ memiliki Sertifikat Guru Penggerak”.

Sertifikat telah mengikuti program Guru Penggerak menjadi ketentuan baru yang dipersyaratkan untuk menduduki jabatan sebagai kepala sekolah disamping berbagai persyaratan adminsitratif lainnya seperti pendidikan minimal S1 atau D IV dari perguruan tinggi yang terakreditasi, memiliki sertifikat pendidik, memiliki pangkat paling rendah penata muda tingkat I (III/b) bagi PNS, dan sebagainya. Adanya berbagai persyaratan yang demikian menunjukkan betapa strategis dan pentingnya jabatan kepala sekolah dalam sistem pendidikan nasional. Namun pada sisi lain, dengan peryaratan yang relatif banyak dan berat tersebut dapat berdampak terhadap minat guru untuk mengikuti seleksi calon kepala sekolah.

Selain persyaratan untuk menjadi calon kepala sekolah yang relatif banyak tersebut, juga semakin dipengaruhi oleh minimnya penghargaann finansial sebagai kepala sekolah.  Sementara ini, penghasilan yang resmi antara kepala sekolah dengan guru tidak jauh berbeda, perbedaannya relatif kecil, atau bahkan nyaris sama. Sedangkan peran dan tanggung jawab kepala sangat sekolah komplek dan menyeluruh, mulai dari mengurus  guru, siswa, orangtua, masyarakat, dan sebagainya. Ibaratnya, kepala sekolah memikirkan dari masalah rumput di halaman dan sekitarnya  hingga ujung atap sekolah.

Adapun dengan adanya  regulasi baru yang mengatur mengenai pencalonan dan pengangkatan kepala sekolah hakikatnya disesuaikan dengan tuntutan dan perkembangan zaman ke depan agar calon  yang akan memimpin sekolah akan mudah beradaptasi dengan perkembangan yang ada pada diera digital dan revolusi industri 4.0. Ketentuan tersebut  secara tersirat tertuang dalam persyaratan yang harus memiliki sertifikat sebagai Guru Penggerak sebagaimana ditentukan dalam Bab II, Pasal 2, Ayat (1)  poin  c  Permendikbud Ristek Nomor 40 Tahun 2021.

Dalam sistem pendidikan nasional, kepala sekolah sejatinya merupakan sosok pemimpin yang tidak saja mengurus dan menyelesaikan  administrasi dan keuangan sekolah,  tetapi juga dituntut mampu berperan sebagai kepemimpinan pembelajaran yang membimbing guru di sekolah yang dipimpimnya. Kepemimpinan pembelajaran ini diwujudkan dalam kegiatan supervisi kepada guru yang dilakukan secara terencana, rutin, dan berkesinambungan.

Kepala sekolah dalam mengelola sekolah yang dipimpinnya melaksanakan tugas pokok yang terkait dengan manajerial, pengembangan kewirausahaan, dan supervisi kepada Guru dan tenaga kependidikan. Oleh sebab itu, sekarang ini kepala sekolah tidak dibebani lagi dengan tugas mengajar di depan kelas sebagai  guru atau pendidik. Namun demikian, kepala  sekolah dapat saja bertugas sebagai guru untuk melaksanakan kegiatan  pembelajaran atau bimbingan  apabila di sekolahnya tersebut masih kekurangan guru.

Ada banyak beban  tugas dan kerja kepala sekolah sebagaimana diatur dalam Permendikbud Ristek Nomor 40 Tahun 2021 tentang Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah. Pemenuhan beban kerja kepala sekolah tersebut dimaksudkan untuk mengembangkan pembelajaran yang berpusat kepada peserta didik, mewujudkan lingkungan belajar yang aman, nyaman, dan inklusif, membangun budaya refleksi dalam pengembangan warga satuan pendidikan dan pengelolaan program satuan pendidikan, dan meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar peserta didik.

Apabila sekolah tidak ada kepala sekolah yang tetap atau definitif yang relatif lama, maka  dapat dibayangkan bagaimana kondisi dan situasi pembelajaran sebagai kegiatan utama di sekolah dapat berlangsung kondusif. Bagaimana berharap sekolah dalam berlangsung atau berjalan sebagaimana mestinya, jika kepala sekolah sebagai pemegang kunci manajerial sekolah tidak ada. Meskipun ada Pelaksana Tugas atau Plt bukan berarti permasalahan di sekolah dapat dihadapi dan diatasi, karena kewenangan  dan tanggung jawab seorang Plt sangat terbatas    

Peran kepala sekolah yang sedemikian strategis dan penting dalam mengelola sekolah hendaknya mendapatkan perhatian pihak atau dinas terkait. Oleh karena itu,  jika ada sekolah yang relatif lama tidak ada kepala sekolah agar segara diangkat karena dikhawatirkan berdampak kurang baik bagi  peserta didik pada khususnya, dan sekolah pada umumnya. Sejatinya, maju atu mundurnya kualitas sekolah tidak dapat terlepas dari sosok kepala sekolah yang menjadi pemimpinnya.

Ketika ada regulasi yang mengatur mengenai kepala sekolah telah berlaku secara resmi, tentu saja hal tersebut harus mendapat perhatian pihak terkait untuk menyikapinya sehingga tidak terjadi kevakuman dalam pengisian jabatan kepala sekolah. Kebijakan yang telah digariskan oleh Kemendikbud Ristek dalam penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah harus disikapi dengan arif dan ditindaklanjuti secara baik pula agar  pendidikan Indonesia  segera bangkit pasca pandemic Covid-19. Semoga.

 

 

 

Post a Comment for "KRISIS KEPALA SEKOLAH, SIAPA YANG SALAH?"